Search This Blog

Monday, February 21, 2005

Akhirat tanpa akhir

Darah di hati Alia yang tercabik, sudah mulai membeku. Sekaligus membekukan harapan dan nalarnya.

Kini dia hanya bisa menangis tanpa air mata, tertawa tanpa suara. Sampai akhirnya Alia dan Valby kembali bertemu berteduh dari hujan petir di pendopo tua.

“Gue sedih, gak tahan, mau mati aja”, Alia memulai percakapan sambil setengah berbaring di bantal besar berwarna hitam.

“Yakin lo abis mati bakal happy? Gue gak mau pas lo mati, malah tambah sedih. Ntar jangan jangan lo curhat ke gue pengen hidup lagi…. Kan serem?!


Dengan memakai logika yang terbatas, kita sering sok tahu menalarkan perasaan manusia yang dicabut ajalnya..

“Hidup udah terlalu absurd buat gue. Kayanya gue udah gak bisa nerima dunia lagi. “
“Terima dunia apa adanya deh.. Ngomong-ngomong, apa sih yang ada di benak lo kalo lo mati?”
“Mmh…. ringan, terlepas dari segala macam beban, kesedihan, dan rasa sakit”
“Heran , giliran buat mati aja, lo punya fikiran positif! Giliran mikirin hidup, negatif terus..”

Tapi benarkah beban, kesedihan dan rasa sakit tersebut akan hilang?

Atau jangan-jangan malah akan berlipat-lipat?

Akankah kita diberi tempat kebahagiaan di akhirat yang abadi nanti?

Bila ternyata kita hanya akan tetap mendapatkan kesedihan, beban, dan rasa sakit di akhirat, apakah nanti akan ada lagi perasaan ingin bunuh diri?

Katanya sekali orang bunuh diri, bakal terus punya kecendrungan yang sama?

(Sekali lagi) Akhirat kan tanpa akhir…?



Titip sedikit ruang saya untuk disana,

Tidak apa-apa tidak sebagus yang dibayangkan,

Asal bisa bahagia dan nyaman bersamaMu,

Bukan bersama hal-hal yang membuat saya menderita..

1 comment:

  1. Anonymous4:07 PM

    bagus sekali puisi kmu di akhir postingan, terharu

    -uli-

    ReplyDelete

Bebas komentar apa saja, asal damai. Terima kasih banyak :*