Tapi ternyata periode culture shock
masih berlanjut! Tapi dalam konteks yang jauh lebih menyenangkan,
kok. Menggelikan tepatnya.
'Gegar budaya' itu dimulai dari:
“Kenalin nih, selebtwit yang dari
arab itu.”
Uwow.
Asli terkejut pas pertama kali denger 'status' baru itu. Biasanya selama ini saya diperkenalkan teman sebagai penyiar, penulis, atau TKI buronan.
Asli terkejut pas pertama kali denger 'status' baru itu. Biasanya selama ini saya diperkenalkan teman sebagai penyiar, penulis, atau TKI buronan.
Lalu, ketakjuban pun berlanjut saat
kenalan dengan beberapa teman baru yang fasih menyebutkan nama
twitter dan jumlah follower-nya. Padahal waktu itu cuma kenalan di
warung remang-remang, bukan di ruang meeting kantor agensi iklan
untuk mencari para buzzer.
Lalu lalu, keterperanjatan berikutnya
saat saya meluncurkan buku baru, terdengar sayup mayup yang menusuk
ulu hati, “Waah, jadi selebtwit mah enak ya, rilis buku gampang.”
Oops, gampang? Tetep pake prosedural
sama dengan penulis yang nggak twitteran, kok.
Iya, saya akui, media twitter sangat
membantu dalam pengembangan karir. Buat jualan lotek juga. Jual
diri juga *hapus dm dm*. Tapi berhubung saya pertama kali merilis
buku saat testimonial masih sepenting diretweet selebtwit, jadi agak
aneh kalo saya dicap 'semalam twitteran esok paginya mendadak
nerbitin buku'.
Akhirnya, di suatu malam dingin saat saya sedang memandikan ular kesayangan, timbul perenungan yang sungguh menggugah batin: pertanggungjawaban sebagai selebtwit apa ya?
Yah kalo sutradara kan bisa pamer
karya film-film-nya. Penulis pamer buku-bukunya. Selebtwit pamer apa?
Kalo cuma dari jumlah follower, kan tragis. Twitter tak mungkin
abadi, dan para hackers bisa dengan mudah mengambil alih akun kita
lalu mendadak jualan obat diet.
Jadi teringat ada temannya temannya teman yang entah teman siapa, yang gemar berkicau penuh kebanggaan. “Gue dulu punya 5 akun friendster dan penuh semua loh (meskipun temannya itu lagi itu lagi).” Gleg. Jadi inget dulu majalah remaja pernah meliput beberapa bintang friendster yang kini entah kemana.
Oh tidak! Saya tidak ingin bernasib sama, saat nanti twitter meninggal dunia atau berubah jadi situs game online seperti friendster sekarang, saya jangan-jangan akan gemar berkoar: “Gue dulu selebtwit loh, punya 10 akun berfollower jutaan (yang tigaperempatnya inactive account).”
Kini, 2 tahun berlalu, saya pun mulai
terbiasa belagu. Terbiasa dengan beberapa orang yang memproklamirkan diri
sebagai selebtwit dan ingin diperlakukan istimewa.
Sebelum berprasangka penuh perkara, saya sangat menerima diri diberikan julukan apa pun. Bahkan diteriakin sebagai penulis sesat pun, saya alhamdulillah masih bisa tersenyum dan diberikan kesempatan Tuhan menghasilkan beberapa karya.
Tapi demi kesehatan jiwa hari ini dan
kelak, izinkanlah saya memperkenalkan diri sebagai seleb beneran penulis. Itu saja profesi yang semoga bisa saya pertanggungjawabkan kelak.
keren om.. saya juga merasakan.
ReplyDeleteselebtwit juga gak gampang nerbitin buku, karena prosedur itu tetap ada untuk setiap penerbit. :))