Setahun belakangan, saya sibuk egois. Setelah dihantam ledakan dalam kepala itu, yang saya pedulikan hanya diri sendiri. Dimulai dari mengatur makanan, pola tidur, cara bangun, sampai prosedur ngeden yang aman.
Saya jadi tidak terlalu peka dengan apa dan siapa yang sedang bergejolak di luar sana.
Lebaran kemudian tiba. Yang lain bergegas pulang kampung, saya mudik ke kota.
Tentu saja hati gegap gempita merayakan hari raya bersama keluarga.
Saya bahkan sudah menyiapkan mental buat menghadapi pertanyaan-pertanyaan tahunan lebaran yang sayangnya ternyata bukan lagi tentang kapan menikah atau kapan liposuction.
Ini adalah kompilasi pertanyaan yang saya dapetin saat nongkrong di beberapa kedai kopi ternama dan ter-instagrammable:
Kenapa gak punya Snapchat?
Kok gak ikutan Steller?
Kok gak nge-vlog?
Kan lagi rajin jogging, kok gak main Pokemon?
Jawaban saya sih selalu santai, “Belum terpanggil, nih.”
Beberapa reaksi mereka ternyata cukup serius; “Jangan nunggu panggilan, lah. Nanti keburu gak relevan lagi.”
Tiba-tiba saya merasa di ruang persidangan agensi khusus buzzer, kembali terhadang realitas tuntutan relevansi jagad digital. Untungnya persidangan tidak berlangsung lama, karena mereka kembali sibuk dengan gadget masing-masing.
Tapi di era para fandom sibuk adu angka penjualan atau jumlah followers/viewers/subscribers, saya sesungguhnya tidak perlu terlalu terperanjat.
Jadi ngelamun, ngebayangin dulu, kalau kita suka lagu, yang kita bahas adalah liriknya, melodinya yang kena di hati, atau tampang penyanyinya yang rupawan. Sekarang juga masih kok, tapi banyak yang kayak gini. “Lagu ini viewer-nya 5 juta dalam semenit! Langsung debut no 1 di chart!"
Gak salah juga, sih. Boleh lah bangga dengan pencapaian. Tapi ujung-ujungnya, "Penyanyi favorit lo kapan kayak gitu?”
"Artis gue no 1, gak kayak artis lo yang flop (padahal nomor 2) itu!"
Bahkan dalam pertemanan rakyat sipil pun, dampaknya terciprat bucat.
Dulu kalau ngenalin sahabat, mungkin begini: “Kenalin nih, sahabat gue, dia selalu nemenin kalau gue lagi gak ada duit.”
Atau
"Dia selalu ada pas gue susah boker." Lalu kentut bareng.
Kalau sekarang, ada yang begitu: “Kenalin sahabat gue, followers-nya jutaan, hobi selfie di negara konflik, udah pernah foto bareng sama Hillary Clinton!”
Sang sahabat pun mesam mesem saat kami berjabat tangan. Tapi ia nampak tidak berkeberatan, jadi saya pun tak punya alasan untuk mempertanyakan narasi perkenalan.
Tapi kadang jadi terganggu, ketika saya nanya sang sahabat hal-hal mendasar seperti 'sekarang tinggal di mana?', si dia yang memperkenalkan itu mendadak jadi juru bicara, "Lah, emang elo gak follow IG-nya?" "Makanya, snapchat-an, dong!"
Ah maafkan atas dosa kekuperanku ini, dewa digital!
Lalu, liburan lebaran berakhir. Saya kembali menuju tempat persemayaman di desa.
Saat duduk di sebelah jendela darurat pesawat, tebersit pertanyaan konyol yang mestinya saya sembur saat mereka sibuk menginterogasi saya: "Kalian masih mau temenan gak sih, kalau aku gak (lagi*) populer? Masih mau memperkenalkan aku sebagai sahabat?"
*tsah emangnya lo populer :p
Seiring dengan turbulensi yang menggoncang lemak pantat, saya terkekeh malu, menyadari kalau virus gelisah itu menular. Kenapa saya mesti ikutan resah?
Walau saya akui pertanyaan-pertanyaan itu sempat kepikiran, ternyata saya mempunyai kehidupan mewah di kampung.
Mewah karena bisa bangun tanpa resah, gak takut apabila foto gak ada yang nge-like, gak sedih kalau tweet gak ada yang RT, tidak bimbang kalau lagu favorit saya ternyata flop di chart, juga tidak keberatan kalau saya diperkenalkan sebagai sahabat tanpa embel-embel portfolio.
Jadi, kalian masih mau temenan, kalau kentutku bau busuk?
Saya jadi tidak terlalu peka dengan apa dan siapa yang sedang bergejolak di luar sana.
Lebaran kemudian tiba. Yang lain bergegas pulang kampung, saya mudik ke kota.
Tentu saja hati gegap gempita merayakan hari raya bersama keluarga.
Saya bahkan sudah menyiapkan mental buat menghadapi pertanyaan-pertanyaan tahunan lebaran yang sayangnya ternyata bukan lagi tentang kapan menikah atau kapan liposuction.
Ini adalah kompilasi pertanyaan yang saya dapetin saat nongkrong di beberapa kedai kopi ternama dan ter-instagrammable:
Kenapa gak punya Snapchat?
Kok gak ikutan Steller?
Kok gak nge-vlog?
Kan lagi rajin jogging, kok gak main Pokemon?
Jawaban saya sih selalu santai, “Belum terpanggil, nih.”
Beberapa reaksi mereka ternyata cukup serius; “Jangan nunggu panggilan, lah. Nanti keburu gak relevan lagi.”
Tiba-tiba saya merasa di ruang persidangan agensi khusus buzzer, kembali terhadang realitas tuntutan relevansi jagad digital. Untungnya persidangan tidak berlangsung lama, karena mereka kembali sibuk dengan gadget masing-masing.
Tapi di era para fandom sibuk adu angka penjualan atau jumlah followers/viewers/subscribers, saya sesungguhnya tidak perlu terlalu terperanjat.
Jadi ngelamun, ngebayangin dulu, kalau kita suka lagu, yang kita bahas adalah liriknya, melodinya yang kena di hati, atau tampang penyanyinya yang rupawan. Sekarang juga masih kok, tapi banyak yang kayak gini. “Lagu ini viewer-nya 5 juta dalam semenit! Langsung debut no 1 di chart!"
Gak salah juga, sih. Boleh lah bangga dengan pencapaian. Tapi ujung-ujungnya, "Penyanyi favorit lo kapan kayak gitu?”
"Artis gue no 1, gak kayak artis lo yang flop (padahal nomor 2) itu!"
Bahkan dalam pertemanan rakyat sipil pun, dampaknya terciprat bucat.
Dulu kalau ngenalin sahabat, mungkin begini: “Kenalin nih, sahabat gue, dia selalu nemenin kalau gue lagi gak ada duit.”
Atau
"Dia selalu ada pas gue susah boker." Lalu kentut bareng.
Kalau sekarang, ada yang begitu: “Kenalin sahabat gue, followers-nya jutaan, hobi selfie di negara konflik, udah pernah foto bareng sama Hillary Clinton!”
Sang sahabat pun mesam mesem saat kami berjabat tangan. Tapi ia nampak tidak berkeberatan, jadi saya pun tak punya alasan untuk mempertanyakan narasi perkenalan.
Tapi kadang jadi terganggu, ketika saya nanya sang sahabat hal-hal mendasar seperti 'sekarang tinggal di mana?', si dia yang memperkenalkan itu mendadak jadi juru bicara, "Lah, emang elo gak follow IG-nya?" "Makanya, snapchat-an, dong!"
Ah maafkan atas dosa kekuperanku ini, dewa digital!
Lalu, liburan lebaran berakhir. Saya kembali menuju tempat persemayaman di desa.
Saat duduk di sebelah jendela darurat pesawat, tebersit pertanyaan konyol yang mestinya saya sembur saat mereka sibuk menginterogasi saya: "Kalian masih mau temenan gak sih, kalau aku gak (lagi*) populer? Masih mau memperkenalkan aku sebagai sahabat?"
*tsah emangnya lo populer :p
Seiring dengan turbulensi yang menggoncang lemak pantat, saya terkekeh malu, menyadari kalau virus gelisah itu menular. Kenapa saya mesti ikutan resah?
Walau saya akui pertanyaan-pertanyaan itu sempat kepikiran, ternyata saya mempunyai kehidupan mewah di kampung.
Mewah karena bisa bangun tanpa resah, gak takut apabila foto gak ada yang nge-like, gak sedih kalau tweet gak ada yang RT, tidak bimbang kalau lagu favorit saya ternyata flop di chart, juga tidak keberatan kalau saya diperkenalkan sebagai sahabat tanpa embel-embel portfolio.
Jadi, kalian masih mau temenan, kalau kentutku bau busuk?
Hidup mewah itu bangun pagi tanpa resah.— Valiant Budi Yogi (@vabyo) September 1, 2016
Semoga yang bikin kamu gelisah segera enyah.
Selalu mau, karena kamu masih mau menemani aku minum kopi di tengah ubud yang kemarin hiruk pikuk menjelang pawai ogoh-ogoh. Selalu mau karena setiap ketemu (walaupun jarang) kamu selalu bisa bikin aku ketawa-ketawa.
ReplyDeleteKapan-kapan lagi ya :)
Tentu mau dong! Aku masih mau diajak ke kedai kopi (tidak) populer. Masih mau diajakin cari cake murah rasa mewah. Masih mau makan nasi pecel enak se-Ubud *halah*
ReplyDeletemau banget bang!
ReplyDeleteDari dulu pengen ketemu bang vabyo di ubud (btw saya di Denpasar, asli bali). pengen denger cerita dari pencerita favorit saya. meski bang Vabyo merasa gak populer lagi, tapi bagi saya abang itu legend! muahahaha
masih mau kok KakVab jadi temen Kakak (emangnya aku dianggap temen sama KakVab? hahaha pede). aku juga tipe orang kaya KakVab, ga terlalu ikutin medsos zaman sekarang, masih setia sama yg jadul macem twitter dan fb hihihi. justru semakin sedikit medsos, semakin sedikit hal yg diketahui orang lain, malah semakin banyak obrolan ketika nanti berjumpa dengan teman bukannya sibuk pegang gadget. jadi lebih menghargai waktu kebersamaan deh :D
ReplyDeleteMau. Masih mau!!!
ReplyDeleteaku mau, temenan sama aku aja nyook mas vabyo, kan lumayan bisa nambah2in kontak di hp :D
ReplyDelete