Teman, ada masa lalu yang perlu aku ungkit.
Masih inget gak sih, waktu aku sering dimaki-maki kafir gara-gara buku yang aku tulis itu?
Sampai-sampai ada teror horor membuat rencanaku porak poranda?
Kamu sempat bertanya, kenapa ada yang sampai sebegitu bencinya dengan seseorang yang tidak benar-benar dikenal?
Kamu juga sempat mengira, mereka yang maki-maki aku bagai tai pedut ini tidak benar-benar membaca bukuku.
Kamu menduga, mereka terbius bisik-bisik busuk belaka. Aku sangat berterima kasih, kamu sudah menenangkan hatiku.
Makian itu kadang masih kudengar, tapi aku sudah tidak peduli. Anggap saja, aku sudah terbiasa. Aku kini sibuk bercengkerama dengan beberapa sahabat di desa 'pelarian' ini. Tidak banyak, tapi hati sungguh hangat.
Sayangnya, hati hangat ini sempat tergores. Makian kafir itu semakin menggelegar. Bukan, bukan untukku. Tapi keluar dari mulutmu.
Kini, kamu menjadi golongan orang-orang yang sering kita pertanyakan. Kemarahanmu meletup-letup pada orang yang (aku asumsikan) tidak begitu kamu kenal. Mereka yang tak sepaham, kamu ingin tiadakan. Bahkan sebuah ras yang juga ikut mengalir dalam darahku kamu samakan dengan binatang yang (kamu anggap) hina.
Bila Tuhan terpuji kamu yakini satu, mengapa ciptaanNya kau hina-hina juga?
Apakah ada bisik-bisik busuk yang juga membiusmu?
Apakah kebencian itu sepadan dengan kebenaran yang kamu perjuangkan?
Aku berharap kamu akan menemukan genggaman hangat yang menenangkan hati seperti yang kamu lakukan padaku lima tahun lalu, teman.
Masih inget gak sih, waktu aku sering dimaki-maki kafir gara-gara buku yang aku tulis itu?
Sampai-sampai ada teror horor membuat rencanaku porak poranda?
Kamu sempat bertanya, kenapa ada yang sampai sebegitu bencinya dengan seseorang yang tidak benar-benar dikenal?
Kamu juga sempat mengira, mereka yang maki-maki aku bagai tai pedut ini tidak benar-benar membaca bukuku.
Kamu menduga, mereka terbius bisik-bisik busuk belaka. Aku sangat berterima kasih, kamu sudah menenangkan hatiku.
Makian itu kadang masih kudengar, tapi aku sudah tidak peduli. Anggap saja, aku sudah terbiasa. Aku kini sibuk bercengkerama dengan beberapa sahabat di desa 'pelarian' ini. Tidak banyak, tapi hati sungguh hangat.
Sayangnya, hati hangat ini sempat tergores. Makian kafir itu semakin menggelegar. Bukan, bukan untukku. Tapi keluar dari mulutmu.
Kini, kamu menjadi golongan orang-orang yang sering kita pertanyakan. Kemarahanmu meletup-letup pada orang yang (aku asumsikan) tidak begitu kamu kenal. Mereka yang tak sepaham, kamu ingin tiadakan. Bahkan sebuah ras yang juga ikut mengalir dalam darahku kamu samakan dengan binatang yang (kamu anggap) hina.
Bila Tuhan terpuji kamu yakini satu, mengapa ciptaanNya kau hina-hina juga?
Apakah ada bisik-bisik busuk yang juga membiusmu?
Apakah kebencian itu sepadan dengan kebenaran yang kamu perjuangkan?
Aku berharap kamu akan menemukan genggaman hangat yang menenangkan hati seperti yang kamu lakukan padaku lima tahun lalu, teman.
Sebut nama boleh tah?
ReplyDelete