Search This Blog

Thursday, September 11, 2008

Ketampar Bule di Mekah

Ada sesuatu tentang timur tengah yang selalu bikin hati gue tergubris, entah budayanya yang eksotis, atau perkembangannya yang semakin dinamis.

Ditambah lagi gara-gara banyak tayangan TV untuk memperingati peristiwa traumatis penyerangan WTC 11 September 2001 sekarang ini, gue jadi inget pengalaman pas ke Mekah sekitar 5 tahun yang lalu.

Loh, HUBUNGANNYA APA?!?!?

Hei, tenang smartass (hehe), gini ceritanya….

Pas lagi makan di sebuah kedai kebab di deket Masjidil Haram, gue ketemu bule asli Amerika. You can tell just by looking at him, and his accent. Namanya lupa, kalo gak salah Matthew. Pas gue tanya iseng kenapa dia bisa sampai Umroh, ternyata jawabannya justru karena awalnya dia sangat membenci Islam.

Ternyata, kakaknya adalah korban teroris WTC 2001. Pemberitaan media tentang latar belakang teroris membuatnya dia semakin membenci ajaran Islam. Saking bencinya, Matthew bela-belain beli Al-Qur’an dan segala buku tentang Islam. Ia pengen nemuin jawaban, ajaran agama macam apa yang mendorong sekelompok orang untuk menghalalkan pembunuhan massal.

Setelah berhasil membaca utuh Al-Qur’an (yang dilengkapi terjemahan Inggris tentunya), ia malah menemukan fakta-fakta yang gak singkron dengan pemberitaan media atau testimonial orang-orang. Matthew dengan antusiasnya ngebahas konsep Jihad yang ternyata telah disalahartikan oleh para kaum ekstrimis yang akhirnya membentuk sebuah pola pemikiran teroris. Lambat laun rasa bencinya berubah menjadi sebuah rasa ketertarikan. Ia malah semakin dalem mempelajari Islam.

Tanpa bermaksud sok dramatis, gue liat bola mata Matthew berkaca-kaca, pas bilang keputusannya menjadi mu’allaf adalah salah satu keputusan hidupnya yang berat, mengingat beberapa saudara dan teman yang masih setia membenci Islam dan Al-Qur’an. Kalo ia mulai diserang dengan berbagai pendapat dan pertanyaan, ia cuma bilang, “Jangan nge-Judge Al-Qur’an, sebelum baca sampai habis.”

Matthew menyayangkan, beberapa korban teroris—seperti dirinya dulu—justru menjadi berpikir dan bersikap melebihi seorang teroris itu sendiri. Dan—lagi-lagi—media berperan penting membentuk kesan terhadap Islam. Coba, mana yang akan mendapat rating tinggi, berita perang antar agama atau pernikahan antar agama?

Kesiapan Matthew menjadi seorang Muslim memang gak main-main, terbukti dari keberadaannya saat itu di tanah suci menjalankan ibadah Umroh.

Asli, gue ketampar abis-abisan ngedenger perjalanan hidup Matthew. Kebab daging sapi yang dipenuhi lelehan keju jadi kerasa sepet di lidah. Gue yang “dinobatkan” sebagai pemeluk Islam sejak lahir saja, saat itu belum tamat baca Al-Qur’an. Padahal Da Vinci Code aja bisa habis dibaca cuma semalam :). Trus, untuk sampai di Mekah aja, gue tinggal ongkang-ongkang kaki nikmatin fasilitas ayah. Persiapannya, boro-boro deh ke iman, malah lebih ke baju, sepatu, dan kacamata hitam biar kalo kepanasan bisa tetep gaya.

Bener deh, kata sobat gue, “Don’t hate the game, just hate the players.” Iya sih, analoginya; masa gara-gara ada segerombolan pecinta bola yang rusuh, lo malah jadi benci permainan sepak bolanya?

Dan bukannya mau sok-sok nyambungin topik nih, tapi gue ngalemin gimana rasanya kalo buku lo dihina-hina, padahal baru dibaca sinopsisnya doang. Mungkin Tuhan juga kecewa kalo Alkitabnya dihina—tanpa dibaca utuh, atau malah sama sekali tak tersentuh.

Hehe, please, jangan nyibirin gue dong, katanya open minded? Tapi hey, sahabat… apa pun pendapat lo, nyatanya gue malah makin jatuh hati sama pilihan gue.. :)

Tapi tenang, gue semoga gak akan nge-judge siapapun hanya karena perbedaan. Amin!





BTW, sayang nih gak tau nama belakang Matthew, gue pengen nyari dia di Facebook :)

No comments: