Pssst.
Ini salah satu pengakuan terbesar saya, yang sebenernya sih, gak besar-besar amat buat teman-teman terdekat.
Pengakuan ini saya putuskan untuk digembar-gemborkan setelah beberapa orang kerap menanyakan dan bahkan menawarkan kembali ke profesi lama saya di awal karir: penyiar radio.
Sejujurnya, saya dulu tertarik menjadi penyiar radio karena saya kira kita gak perlu tampil di publik. Kan, dulu ada desas desus: penyiar itu tempatnya orang-orang jelek.
Tapi ternyata pas masuk radio tahun 2001, oalah, orangnya kok cakep-cakep?! Kita benar-benar diasah agar siap menjadi bintang, walau terkadang salah sinar.
Dan saya mendadak salah tingkah, karena ketika menandatangani kontrak sebagai penyiar, ternyata otomatis harus siap jadi MC dan mengikuti berbagai casting.
Memang sih, yang terakhir adalah pilihan. Pilihan yang tampak menjadi kewajiban.
Ketika beberapa penyiar yang saya temui selalu memberikan kesan bahwa, “Gue sih siaran sebagai batu loncatan aja”, saya terpaksa menunduk malu, karena siaran bagi saya saat itu bagai pulau terakhir untuk berlabuh; ogah loncat kemana-mana lagi.
Tawaran MC membanjir, dan seketika itu pula saya pura-pura sibuk nyirem taneman, dan meneruskan tawaran itu ke teman-teman penyiar lain. Beban mental bertambah ketika saya terhakimi pandangan "Kok, nolak rezeki?" dan "Ngapain jadi penyiar, kalo gitu?"
Saya memang senang menghibur, tapi untuk menjadi pusat perhatian di atas panggung membuat saya grogi setengah mati, keringat dingin, basah ketek, plus jemari tremor.
Terus, nyesel dong jadi penyiar? Nggak banget.
Setelah menyadari tidak bisa menikmati totalitas sebagai penyiar, akhirnya saya berbelok menjadi copy writer & produser.
Saat itu pulalah, hobi lama yang telah terbengkalai, kembali meranggas liar: menulis.
Beberapa skrip radio yang tertolak, akhirnya tampil di novel perdana saya.
Selain belajar membulatkan suara dari pernapasan diafragma, selama menjadi penyiar, saya juga belajar dasar-dasar jurnalisme, seni menggali informasi dan mengemasnya menjadi informasi yang menarik, seni mendengarkan dan memberikan pertanyaan untuk partner siaran atau narasumber.
Saya gak ingin narasumber / bintang tamu mendadak jemu dengan pertanyaan membosankan semacam, “Kenapa judul album anda itu Pantat Babon Berbulu Angsa?”
Saya juga belajar cara mengelola stres, bagaimana ketika komputer siaran tiba-tiba ngeheng, lagu terhenti kemudian sekejap sunyi, sementara sudah saatnya masuk insert sponsor, dan tetap harus terlihat tenang agar narasumber yang masih duduk manyun di depan kita tetap merasa nyaman.
Belajar dari pengalaman masa lampau, kini saya jadi meyakini, se(merasa)salah-salahnya pilihan karir saat ini, bakal ada warisan berharga yang bisa jadi bekal berlian di masa depan.
Dan sebagai penutup, ada warisan siaran yang sungguh sangat berharga dan berguna hingga kini.
Biasanya aksi ini saya lakukan kala abis begadang, siaran pagi, dan dapet partner siaran superjayus. Oops!
Bonus!!
Ini beberapa iklan radio featuring suara saya. Kali ada yang niat nawarin kerjaan dubber :p
No comments:
Post a Comment
Bebas komentar apa saja, asal damai. Terima kasih banyak :*