Sesaat sebelum menduduki panggung sebuah talkshow peluncuran buku, otak saya terbiasa menyiapkan berbagai jawaban untuk setiap pertanyaan standar, seperti “Kenapa memilih judul buku itu?” atau “Darimana dapat inspirasi?” sampai “Kok gak nikah-nikah?” sekalipun.
Begitu pun ketika duduk bareng beberapa penulis lainnya di Galeri 678 – Kemang, Jakarta untuk launching buku The Journeys 3, saya sudah menyiapkan jawaban untuk pertanyaan sebangsa, “Apa makna perjalanan dalam hidupmu?” dan semua hal yang berbau jalan-jalan.
Pertanyaan demi pertanyaan menggiliri kami tanpa jeda sesekali berbalut canda, hingga tibalah sebuah pertanyaan klasik yang justru saya lupa siapkan jawabannya:
“Apakah anda bahagia ketika berjalan-jalan?”
Yang pertama terlontar di benak, sih: Bahagia? Ya, harus lah!
Tapi kan itu tidak menjawab pertanyaan, karena bukan iya atau tidak.
Jawaban spontan saya saat itu sih, kurang lebih: “Iya, bahagia. Tapi bahagia itu kan seperti kenyang, karena (saya) biarpun sudah kenyang, gampang lapar kalau melihat makanan lagi.
Ibarat bahagia saat atau setelah melakukan sebuah perjalanan, tapi selalu gampang iri kalau melihat orang lain yang melakukan perjalanan (yang saya belum pernah datangi).
Tapi saya gak keberatan iri, karena iri adalah mampu yang tertunda.”
Sementara rekan penulis lainnya menjawab dengan versi masing-masing, diam-diam saya tidak bahagia dengan jawaban sendiri.
Tapi, sebenarnya bahagia itu sendiri apa ya? Kenapa semakin berumur malah semakin canggung menjawab pertanyaan ini?
Untuk jawaban paling standar, ngintip kamus dulu, yuk!
Menurut KBBI dalam jaringan:
ba·ha·gia = keadaan atau perasaan senang dan tenteram (bebas dari segala yang menyusahkan).
Bebas dari segala yang menyusahkan? Waduh, sanggup gak ya? Mengingat mati pun pasti menyusahkan orang banyak.
Coba kita lirik petikan dari Mahatma Gandhi:
“Happiness is when what you think, what you say, and what you do are in harmony.”
Waduh, jadi tertampar. Karena makin ke sini, berarti makin susah bahagia, karena kadang apa yang di tweet dan yang dilakukan saja bisa berbeda. Yang di-mention sama yang di DM saja seringkali gak singkron.
Tapi sebelum ngintip dan larak-lirik lebih jauh lagi, sepenting apa memaknai bahagia? Untuk bersyukur?
Tapi saat terpuruk pun boleh kan, mengucapkan segala pujian?
Contohnya, ketika gagal mendapatkan sesuatu atau seseorang, ada keyakinan kalau saya sedang diselamatkan dari drama ribet masa depan.
Kalau sering “coba dulu gak begini-begitu”, bisa coba dibalik “barangkali ini terjadi biar nanti gak ber- 'coba dulu gak begini-begitu' “
Memang, pengalaman dan pembelajaran itu perlu, tapi kan bisa pilah-pilih yang bukan pengulangan derita, kecuali kalau memang penggemar tragedi ya.
Karena tidak sedikit teman-teman yang menyambut kesedihan penuh ceria: memborong serial drama korea sambil menyiapkan gulungan tisyu, misalnya.
Kembali mengutak-atik bahagia, ternyata pemaknaannya pun berubah-ubah sesuai masa kehidupan. Pernah gak sih, tiba-tiba merasa jijik sendiri ketika menelaah bahagia masa lampau? Bahagia saat bergerombol dan lupa diri misalnya: memelonco adik kelas, mencorat-coret tembok rumah orang, atau bullying anak culun. Seru saat itu, tidak enak hati saat ini.
Atau mungkin pernah begitu dimabuk asmara saat menduakan pasangan? Saat 'takut ketahuan' menjadi amunisi kenikmatan saat beringkar janji. Seakan lupa bila tidak ada perselingkuhan yang tidak terbongkar, yang cuma berujung derita hati.
Sebaliknya, ada juga rentetan kesedihan yang kini membuat saya tersenyum. Contohnya, saat saya disunat ketika berumur 6 tahun.
Masih jelas teringat, saat terasa lagi perih-perihnya, semua tamu malah memberikan selamat dan beberapa diantaranya asyik heboh memotret penis yang sedang terluka itu. Bahagia? Boro-boro, yang ada sedih campur sakit hati.
Sampai akhirnya ketika luka mengering, ternyata bentuk si anu pun berubah menjadi menggemaskan dan terasa bersih mewangi.
Mungkin kita perlu sesekali menggunakan teropong bahagia untuk memahami secara utuh kisah kasih sedih masa lalu. Karena bisa tetap bersahaja saat menderita; sedih seperlunya tanpa drama adalah suatu kebahagiaan tersendiri buat saya.
Bukankah melihat kepingan sedih yang ternyata telah berhasil kita lewati merupakan sebuah kesenangan jiwa?
Dan, memangnya bisa bahagia kalau tidak pernah merasa sedih?
Terima kasih mau membaca, semoga bahagia membaca postingan ini.
Seandainya tidak, mohon kembali dengan teropong bahagia di masa depan.
Bahagia relatif banget ya, standar tiap orang beda-beda.
ReplyDeleteDan sepertinya melihat manusia jaman sekarang rada nggak mungkin juga kalau bakal bahagia setiap saat. Pasti ada masanya galau, sedih, merasa bodoh, kesel misalnya.
Tapi mungkin ga ya salah satu cara menuju kebahagiaan itu dengan letting go? *masih mikir*
Dear Keke,
ReplyDeleteMungkin banget, biar pun saya pribadi gak jago letting go. Bisa sih, letting go sehari, eh besoknya coming back deh.
Dan jangan-jangan kita sibuk cari arti sampai lupa ngerasa happy O_o
Gw Bahagia Val...klo Goal gw tercapai,..abisius sih ga juga, cuma seperti ada hembusan angin.. angin alam ye bukan angin kentut :D hehehee dan seperti ada setetes embun di padang pasir..:)
ReplyDelete