Search This Blog

Friday, January 31, 2014

Menatap Jomblo Masa Lalu dan Masa Kini

Lagi-lagi keringat dingin. Lagi-lagi lihat jam dinding.

Saat itu hari Minggu sore di Oz Radio lantai 2, saya memeriksa materi siaran berulang-ulang. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan; saat itu tahun ke tujuh saya siaran, masa masih gemetaran?

Masih kok, apalagi karena petang itu saya akan mewawancarai sang penulis idola: Ninit Yunita yang datang ditemani sang suami: Adhitia Mulya! Duh, sekali grogi, dapat dua!

Sampai akhirnya terdengar suara langkah di tangga, seiring detak jantung yang kian berlomba. Ah, syukurlah, senyum hangat dan obrolan mereka meniadakan kikuk, malahan saya mendapatkan banyak bonus wejangan mutakhir untuk menjalankan profesi sebagai penulis.

Kini, 6 tahun kemudian, semangat senyum hangat dan ngobrol enak itu tidak hilang. Bahkan kali ini, saya tidak akan merahasiakan obrolan dengan salah satu dari 2 idola tadi: Bang Adhit. Semua bebas nguping!

Halo Bang! Selamat untuk 10 Tahun Jomblo-nya! Kalau dilihat-lihat, cover-cover buku lo kan identiik dengan warna kuning, ada alasan khusus gak kenapa Jomblo (dan Gege Mengejar Cinta) edisi revisi ini ber-background putih?





>> Jadi dulu gue stick dengan warna kuning karena yang gue pelajari warna kuning itu identik dengan tawa/komedi, seperti halnya biru identik dengan ketenangan. Tapi setelah 10 tahun, gue memilih untuk ganti warna karena memang sudah saatnya saja. Bosen juga lama-lama kuning terus.

Bang Adhit kan pernah nge-tweet kalau dalam menulis fiksi itu selalu ingin pembaca bisa relate ke cerita atau tokohnya. Di buku Jomblo ini, ada bagian yang merupakan kisah nyata gak, sih? Selain masa jomblo tentunya ya 8)) 

>> Hehe, sebenarnya nggak. Tapi memang waktu kuliah itu entah kenapa gue gampang dicurhatin orang. Muka curhat kali ya. Nah, yang curhat itu dari laki-laki berotot menangis tersedu-sedu di pundak gue (yang mana abis itu gue mandi wajib) sampe cewek cakep. Curhat doang, jadian gak pernah. Anyway, 4 cerita di dalam jomblo adalah hasil observasi gue terhadap banyak kisah cinta yang gue temui di kehidupan nyata teman-teman.

Pas ngebaca ulang Jomblo edisi perdana, apa yang membuat Bang Adhit mengernyitkan dahi? Ada dialog atau adegan yang udah gak sreg dibaca saat ini? 

>> Iya, itu ada. Beberapa bagian membuat gue berpikir "Hmmm, masih zaman ga ya bagian cerita ini?"
Apa perbedaan manusia jomblo hari gini & 10 tahun lalu? 

>> 10 tahun yang lalu, internet masih mahal. Sekarang, jangankan internet, smartphone pun udah murah. Jadi dulu itu, jadi jomblo itu benar-benar hampa; getirnya gak ketulungan. Zaman sekarang sih, se-ancur-ancurnya jomblo, masih bisa menemukan kedamaian dalam stalking instagramnya Dian Sastro. Jaman dulu, kalo elo jomblo, siang-malem manyun.

Bisa nebak gak 3 hal yang terlintas pertama kali di benak Mas Hanung pas memutuskan bakal memfilmkan Jomblo?

>> Dia pernah cerita awal dia mengambil film ini. Jadi Mas Hanung itu ditawari oleh Pak Leo Sutanto dari Sinemart untuk menyutradari Jomblo. Sebelum baca bukunya, dia akui dia under-estimate. Tapi setelah dia selesai baca bukunya, Alhamdulillah dia suka dan memutuskan ikut dalam project kami ini.

Seandainya film Jomblo remake, dan dikasih pilihan alternative ending, mau kayak gimana? 

>> Hmm, rasanya gue tidak ingin mengubah getirnya ending Jomblo. Kisah cinta itu harus ada yang berakhir getir. Not everyone can win. Buktinya, untuk 1 Olla Ramlan yang menikah, ada ratusan jomblo yang nangis di shower. Sama juga dengan kehidupan kita; ketika 2 orang pria mengejar 1 wanita, wanita itu hanya dapat memilih 1 dari 2. Yang terpilih happy ending. Yang tidak terpilih, getun getir maki-maki amsyong ke dukun.

Kalau dapet kesempatan reinkarnasi ke dunia Jomblo, mau terlahir sebagai karakter siapa? 

>> Agus lah. Karena gue memang banyak mengimplant karakter diri yang sebenarnya pada karakter Agus. Contohnya, Agus itu orang yang over-complicate things. Orang yang socially awkward. Orang yang suka salah tingkah.

Bakal ngebolehin sang anak—Alde baca Jomblo di umur berapa?

>> Pertanyaan yang bagus. Singkatnya, 18 tahun. Jomblo saya tulis di saat saya belum menikah dan punya anak. Setelah punya anak, saya jadi mikir, wah, saya menyesal memiliki 4 adegan seks pranikah di dalam Jomblo. Akhirnya dalam edisi revisi ini, saya cut semua dan saya sisakan hanya satu. Menjadi seorang bapak, berarti menjadi orang yang mampu memberi influence yang baik pada minimal 1 orang di dunia ini, yaitu anak kita. Jika memberi influence baik saja tidak bisa (karena jomblo ada adegan seksnya) saya tidak dapat berkaca di cermin dan berkata bahwa saya bapak yang baik.

Seandainya Alde tiba-tiba mencanangkan diri jadi penulis, apa saran terbaik dari Bang Adhit? 

>> Jika situasi industri kreatif di masa depan, sama dengan hari ini, maka saran gue adalah: keep it as a money-making hobby.

For Adhitya Mulya, writer's block is ...... ?

>> a sign that we need to check our premis and synopsis again. Karena kalo premis dan sinopsisnya udah bener, Insya Allah nulis lebih lancar.


Seiring dengan jawaban penuh tamparan itu, percakapan kami tercukupi di 10 pertanyaan saja, karena kalau 20, kita perlu menunggu tahun 2023!

Sambil menunggu, kalau sampai saat ini ada yang masih sibuk harus memilih seorang yang baik atau yang cocok..
.. atau antara seorang perempuan atau sahabat..
.. juga kebingungan antara lebih baik diam saja selamanya atau menyatakan cinta..
.. atau terus mencoba atau tidak sama sekali,
jawabannya memang ada di sini:



No comments:

Post a Comment

Bebas komentar apa saja, asal damai. Terima kasih banyak :*