Search This Blog

Monday, January 06, 2014

Ikut Campur Tetangga

Biasanya saya tidak tertarik kabar tetangga. Gorden mereka warna apa, sikat gigi pakai pasta apa, kentutnya sebau apa, saya tidak mau tahu.
Tapi dipikir-pikir, ini bisa jadi karena tetangga saya rata-rata adem ayem, jarang bertikai atau beradu drama, membuat saya segan untuk lebih dari sekadar bertegur sapa. 'Halo, apa kabar' saja sudah cukup, bukan?

Karena ternyata ketika ada tetangga yang biasanya tampak santai elegan tiba-tiba ricuh, saya jadi sangat tertarik ikut campur.

Tetangga itu tetangga kita semua: Singapura.

Saya mengenal Singapura sebagai tetangga yang adem. Yah, tampak rungsing kalau kena bencana asap. Tapi, siapa yang tidak?

Kericuhan kali ini masih sebatas online, tidak sampai terjadi amuk massa, dan bisa jadi hanya ada di lingkungan (baca: timeline) sekitar saya saja, tapi cukup membuat saya kepo.

Bermula dari sebuah acara malam tahun baru di sebuah acara televisi Singapura.

 

Rupanya beberapa penonton mempermasalahkan kenapa acara perhitungan mundur di saluran nasional itu memakai bahasa Mandarin, disertai keheranan lainnya: “I’m sorry to say this, but it was so “cheena”. Where were the Malays, Indians, Peranakans and Eurasians?"

Asal mulanya saya mencium aroma kecemburuan, seperti kemarahan anak yang merasa tersisih. Tapi setelah membaca kolom komentar lebih jauh, seperti:
"Sad that the TV does not seem to comprehend the "One Nation" concept!"
"So whenever one race is being given extra highlight, or is it limelight, i ask myself, what for! Why?"
Ternyata anak yang terpilih juga menyuarakan ketidaksetujuannya, justru menyatakan perdampingan dengan anak tersisih.

Ah, lupakan. Ini bukan masalah anak terpilih atau anak tersisih.

Tapi itu kan masih asumsi saya saja.

Lalu dengan niatnya, saya mengobrol dengan seorang sahabat yang telah tinggal lama di Singapura
—sebut saja Dia, demi mendapatkan pengertian lain.

Saya: Sebenernya yang terganggu tayangan Tahun Baru itu mayoritas penduduk mana? Chinese atau non-chinese? 

Dia: Dua-duanya, karena gak sudi disamain sama Cina RRC, mungkin merasa superior.

Saya: Kalau misalnya ada pengucapan Selamat Lebaran pakai Mandarin, bakal kayak gini juga gak ya?

Dia: Gak kayaknya, melayu di sini kan minoritas. Ringkasnya, mereka gak suka saja diasosiasikan dengan Cina daratan. Karena Singapura bukan kayak Hong Kong yang perpanjangan Cina RRC. 

Saya: Apa jangan-jangan mereka yang merasa superior ini juga merasa berbeda nenek moyang dengan warga Cina daratan?

Jawaban Dia membuat saya tertampar: Yah tetaplah mengakui, tapi ya gak mau disamakan; karena Singapura dengan adanya berbagai percampuran ras termasuk foreigner, lebih dari sekadar “Cina saja di Asia Tenggara”.

Tertampar karena teringat pada temen bule yang sering bingung setiap ada perseteruan antara Indonesia dan Malaysia, “Sama-sama melayu, kok ribut?”

Jawaban superiornya? “DIH, KITA BEDA!!” Boro-boro memikirkan asal muasal nenek moyang, kan?

Sambil masih mencoba memahami tetangga, saya pun menelusuri berita kerusuhan  mereka yang tampak mengejutkan, tapi dengan kejamnya jadi terdengar biasa saja kalau terjadi di sini.

Akhirnya saya mundur teratur dari ikut campur ini, dengan hati yang sungguh iri; kapan kita bisa melihat berita kerusuhan di Indonesia dan terkejut, “Kok bisa?!”

No comments:

Post a Comment

Bebas komentar apa saja, asal damai. Terima kasih banyak :*