Bisa jadi itu ucapan penghiburan diri
saya sekitar tujuh tahun lalu, ketika novel pertama jeblok di
pasaran. Terlebih ketika novel itu masuk nominasi sebuah penghargaan
bergengsi, saya diam-diam arogan, “Tuh kan, yang penting kualitas.”
Saya lantas tetap menulis dan berhasil
kembali merilis novel, setahun berikutnya. Bagaimana peruntungannya?
Hanya beberapa bulan mejeng di toko buku, setelah itu kembali
bersemayam di gudang penerbit, karena penjualan tidak juga memuaskan.
Saya kembali menghibur hati: ibarat
ajang pencarian idola, mungkin Indonesia belum memilih saya. Beuh.
Tanpa kapok, saya tetap menulis sambil berkelana ke sana kemari,
hingga akhirnya bisa merilis kembali buku ketiga, yang siapa sangka
akan mengubah cara pandang saya.
Bulan pertama penjualan buku terbaru
ini meroket, membuat saya tentu sangat bersyukur, tapi masih
pura-pura adem ayem, seolah menjaga ucapan kala penghibur hati selama
ini. Saya tidak ingin kalau buku selanjutnya kembali gagal di
pasaran, saya tiba-tiba hilang semangat dan sibuk mencari perhatian
yang tidak berhubungan dengan karya tulisan.
Sampai suatu ketika seorang staf
penjualan yang mengantarkan buku-buku ke rumah berkata, “Terima
kasih ya, bukunya bagus banget!”
“Wah, terima kasih banyak mau baca
ya!” Jawabku semringah; salut di antara kesibukannya berjualan,
masih menyempatkan baca.
“Euh, sebenarnya belum baca, maksud
saya (yang bagus) penjualannya.”
Untuk beberapa saat, saya
tercengang—merasa ganjil dengan jawabannya. Tapi raut wajah
bahagianya saat mengucapkan terima kasih itu membuat saya tersadar,
selama ini saya penulis yang egois, asyik-asyik sendiri saja. Asyik
sekadar nampang di toko buku, gak laku yah bodo amat.
Jadi terbayang, apa jadinya kalau saat
kegagalan tempo hari itu, saya malah mencak-mencak penerbit atau toko
buku atau malah pembaca?
Dan ternyata ketika sebuah buku laku,
yang senang tidak cuma saya sendiri. Penerbit, toko buku dan segenap
stafnya pun bahagia ternafkahi, bukan? Ternyata banyak yang bisa
makan dari sebuah buku. Bahagia bersama ternyata lebih menyenangkan
dari (sok) bahagia sendiri.
Jadinya saat ini, setiap menerbitkan
buku baru, saya ikut merasa bertanggung jawab untuk mempromosikannya.
Penerbit dan toko buku pun sudah
meluangkan waktu dan tenaga untuk membantu penulis menerbitkan
karyanya, membuat saya tidak enak hati kalau cuma ongkang kaki
menunggu hasil penjualan.
Kalau toh ternyata gagal, saya akan
kembali menghibur hati; menghargai perjuangan bersama—tanpa perlu
berputus asa.
Dan untuk janji selanjutnya: selama
saya menerbitkan buku dengan ikut melibatkan banyak pihak, saya tidak
akan lagi berkoar-koar: Buku gak laku? Bodo amat.
Kan bebas menghibur hati, asal yang
tidak saling menyakiti.
No comments:
Post a Comment
Bebas komentar apa saja, asal damai. Terima kasih banyak :*