Search This Blog

Saturday, January 04, 2014

Pentingkah Buku Laku?

“Ah, penjualan gak penting, yang penting berkarya.”

Bisa jadi itu ucapan penghiburan diri saya sekitar tujuh tahun lalu, ketika novel pertama jeblok di pasaran. Terlebih ketika novel itu masuk nominasi sebuah penghargaan bergengsi, saya diam-diam arogan, “Tuh kan, yang penting kualitas.”

Saya lantas tetap menulis dan berhasil kembali merilis novel, setahun berikutnya. Bagaimana peruntungannya? Hanya beberapa bulan mejeng di toko buku, setelah itu kembali bersemayam di gudang penerbit, karena penjualan tidak juga memuaskan.

Saya kembali menghibur hati: ibarat ajang pencarian idola, mungkin Indonesia belum memilih saya. Beuh. Tanpa kapok, saya tetap menulis sambil berkelana ke sana kemari, hingga akhirnya bisa merilis kembali buku ketiga, yang siapa sangka akan mengubah cara pandang saya.

Bulan pertama penjualan buku terbaru ini meroket, membuat saya tentu sangat bersyukur, tapi masih pura-pura adem ayem, seolah menjaga ucapan kala penghibur hati selama ini. Saya tidak ingin kalau buku selanjutnya kembali gagal di pasaran, saya tiba-tiba hilang semangat dan sibuk mencari perhatian yang tidak berhubungan dengan karya tulisan.

Sampai suatu ketika seorang staf penjualan yang mengantarkan buku-buku ke rumah berkata, “Terima kasih ya, bukunya bagus banget!”

“Wah, terima kasih banyak mau baca ya!” Jawabku semringah; salut di antara kesibukannya berjualan, masih menyempatkan baca.

“Euh, sebenarnya belum baca, maksud saya (yang bagus) penjualannya.”

Untuk beberapa saat, saya tercengang—merasa ganjil dengan jawabannya. Tapi raut wajah bahagianya saat mengucapkan terima kasih itu membuat saya tersadar, selama ini saya penulis yang egois, asyik-asyik sendiri saja. Asyik sekadar nampang di toko buku, gak laku yah bodo amat.
Jadi terbayang, apa jadinya kalau saat kegagalan tempo hari itu, saya malah mencak-mencak penerbit atau toko buku atau malah pembaca?

Dan ternyata ketika sebuah buku laku, yang senang tidak cuma saya sendiri. Penerbit, toko buku dan segenap stafnya pun bahagia ternafkahi, bukan? Ternyata banyak yang bisa makan dari sebuah buku. Bahagia bersama ternyata lebih menyenangkan dari (sok) bahagia sendiri.

Jadinya saat ini, setiap menerbitkan buku baru, saya ikut merasa bertanggung jawab untuk mempromosikannya.
Penerbit dan toko buku pun sudah meluangkan waktu dan tenaga untuk membantu penulis menerbitkan karyanya, membuat saya tidak enak hati kalau cuma ongkang kaki menunggu hasil penjualan.

Kalau toh ternyata gagal, saya akan kembali menghibur hati; menghargai perjuangan bersama—tanpa perlu berputus asa.
Dan untuk janji selanjutnya: selama saya menerbitkan buku dengan ikut melibatkan banyak pihak, saya tidak akan lagi berkoar-koar: Buku gak laku? Bodo amat.
Kan bebas menghibur hati, asal yang tidak saling menyakiti.

Selamat menulis dan berjuang!

From The Journeys 3

No comments:

Post a Comment

Bebas komentar apa saja, asal damai. Terima kasih banyak :*