Saya pikir, hakim dan pengacara adalah profesi menggiurkan. Saya kemudian sadar, menggiurkan karena tercekoki serial-serial TV berlatar belakang pengadilan yang saya tonton sejak SD.
Dimulai dari serial Dark Justice. Saya terpikat pekerjaan hakim yang saat malam hobi menyamar demi menemukan kebenaran dari kasus yang sedang ditanganinya. Walau cara menyamarnya hanya semudah mengurai rambut gondrongnya, sih.
'Racun' berikutnya menyebar dari serial Ally McBeal, kali ini saya kepincut pengacara-pengacara yang tampak tangguh saat membela klien, tapi begitu rapuh cenderung delusional saat di luar ruang pengadilan.
Ironisnya, ambisi menjadi hakim & pengacara terkikis saat saya kuliah hukum—terlebih saat kuliah praktek peradilan. Selain sistem peradilan Indonesia bukan Anglo Saxon yang dilengkapi sistem juri (lah kemana aja), ruangannya pun tentu saja tidak seglamor settingan TV (lah kemana aja-bag 2).
Di lorong-lorong gelap pengadilan, saya semakin menyadari kalau suap menyuap bukan hanya sekadar memasukkan makanan ke mulut seseorang.
Ah ya, siapa suruh termakan ilusi fiksi?
Sialnya, kebiasaan menjadi jagoan dadakan terbawa sampai sekarang.
Sumber serialnya masih berbau-bau pengadilan menyerempet kriminal, dengan penelaahan ruang lingkup psikologi manusia secara mendalam. Sedalam Amerika ingin kita meyakininya.
Mari mulai dari serial Lie To Me. Kali ini sang jagoan, Carl Lightman yang merasuki jiwa, membuat saya ikut menjelma jadi ahli pendeteksi kebohongan. Saya mendadak menjadi penyimak ekspresi, entah itu teman yang sedang curhat atau para selebritas di infotainment.
Setiap si pembicara menggaruk-garuk hidung atau melilipkan kelopak mata, saya serta-merta berpikir, “PASTI LAGI BOHONG!”
Saat si pembicara menundukkan kepalanya, saya otomatis menuduh,”DIA PASTI SEDANG MENYEMBUNYIKAN SESUATU!”
Ironisnya, gara-gara terlalu melahap serial ini, saya jadi waswas disangka berbohong.
Jadi ya, kebiasaan saya kalau lagi grogi, saya sering mengusap-usap leher bagian belakang; yang menurut Carl Lightman adalah salah satu ciri orang berbohong.
Padahal percakapannya hanya sesederhana ini,
“Mau ke mana?” ditanya kecengan.
“Ke toko buku,” jawab saya pegang leher belakang.
Sadar itu hal 'salah', saya buru-buru memasukkan lengan ke saku. Malah makin aneh kan gesturnya?
Lalu saat lagi flu atau kebelet pipis pun saya menghindari ngobrol, takut gak sengaja garuk-garuk hidung atau kelilipan! Ah, kok jadi ribet amat.
(Baca: Is Lie to Me lying to you?)
'Untungnya' yang ribet bukan saya doang.
Kali ini saya lagi menonton berita tentang kasus aktris yang meninggal pasca operasi plastik, penyebabnya masih belum diketahui. Adik temen saya yang masih muda belia berceloteh, “Pasti dia kebiasaan minum obat penenang Nadril deh. Terus dokternya ngasih Emerol. Jadi aja mati!”
“Kok bisa tahu sih?” Tanya saya takjub.
“Dia kan aktris ya, pasti suka minum obat penenang, kan? Pernah ada kasusnya di Law & Order.”
Takjub saya menguap perlahan.
Selain jadi pelaku, dengan bangga saya katakan: saya juga sempat jadi korban, loh!
Mungkin ada yang ingat waktu saya dapet berbagai teror akibat buku saya tahun 2011, saya lumayan kan sering curhat di social media. Beberapa orang berspekulasi kalau itu cuma rekayasa agar penjualan buku naik. Malah saat ban mobil gembos ada yang yakin itu upaya saya sendiri untuk menarik perhatian. Ya iya sih, saat saya memamerkan foto ban gembos, memang betul buat narik perhatian. Tapi saya belum sedepresi itu sampai menggembosi ban sendiri.
Teori-teori ala Hollywood yang mereka utarakan pun cukup cadas, secadas batu yang pengin saya lempar ke mereka. Mumpung lagi kena batunya.
Tanpa bermaksud ingin mencari teman, para ahli dadakan pun kini bertebaran di media sosial, entah ahli medis atau ahli forensik. Mereka akan ramai berkicau kala-kala kasus panas mendidih di timeline.
Jadi karena dikeroyok atau kecelakaan? Cepat sembuh dan banyak berkah ya, Bu! |
Menduga-duga memang menyenangkan, tapi memaksakan dugaan agar jadi kebenaran itu memuakkan.
Dunia nyata tak berlayar, luasnya tak mampu dikekang kotak TV, rumitnya tak sebanding skenario fiksi.
Dunia nyata tak berlayar, luasnya tak mampu dikekang kotak TV, rumitnya tak sebanding skenario fiksi.
Saya dan para ahli dadakan lainnya harus lebih memahami lagi kalau perkembangan manusia progresif—bahkan secara organisme saja sudah kompleks, belum lagi ditempa berbagai pengalaman psikologis masing-masing.
Eh bentar bentar, kata-kata ini dari serial TV apa ya??
No comments:
Post a Comment
Bebas komentar apa saja, asal damai. Terima kasih banyak :*