Ledakan Dalam Kepala:
Penulis yang Kehilangan Kata
Akibat Stroke.
Ada jenis manusia yang jogging
sambil merokok, makan salad sambil minum bir, begadang sepanjang malam lalu
tidur seharian, yang mengira kalau makanan sehat itu segala penganan yang
membuat bahagia. Iya, itu semua adalah definisi 'hidup seimbang' buat saya.
Sampai kemudian 'keseimbangan' itu hancur akibat stroke hemoragik.
***
Saya baru saja kembali dari liburan musim panas di Amerika Serikat. Ini adalah salah satu perjalanan impian: nonton konser U2 di LA, merayakan ulang tahun ke 35 di Sausalito, tur kuliner di New York dan San Antonio. Saya sibuk banget bikin diri bahagia, sampai-sampai tercanangkan secara prematur kalau 2015 adalah tahun memikat buat saya.
Tapi 2015 masih menyisakan banyak
bulan, saya kembali bersemayam di Ubud.
Di pagi yang cerah, saya bangun penuh gairah; menaburkan bubuk kopi Sumatra di teko berisi air panas, joged-joged tak keruan menikmati berbagai lagu yang beralun dari laptop. Ah, begitu gegap gempita! Kepala dipenuhi ide untuk menulis novel dan berbagai ambisi beberapa proyek yang membuat jantung berdegup kencang. Di antara menulis dan berjoged, saya mainkan gitar hayalan sambil mengangguk-anggukkan kepala laksana penyanyi metal, sampai kemudian terperanjat oleh sakit yang menjalar mulai dari bagian pundak, leher belakang, ke bagian mata, sekonyong-konyong membuat pandangan kabur dan pendengaran berdenging.
Oh, begini rasanya Neville Longbottom saat dihujani mantra 'petrificus totalus' oleh Hermione! Sesaat tubuhku lumpuh. Otot kehilangan kuasa. Saya pikir tidak ada yang bisa lebih mengerikan, tapi kemampuan berpikir pun beringsut hilang. Sialnya, itu bukan hal yang paling menyakitkan, karena sakit yang menjalar itu kini menjelma bagai jutaan silet yang mencacah isi kepala.
Saya mencoba menutup mata,
berharap semua akan membaik begitu melek. Tidak tahu berapa lama saya tertidur,
tapi saat kelopak mata terbuka, pandangan menjajak juling. Semua tampak mendua.
Otak masih terasa tersayat-sayat. Jutaan silet itu kini menyebar ke kepala
bagian kiri. Saya kerahkan segenap tenaga, mengetik pesan terpatah-patah di
ponsel, meminta bantuan teman. Semakin mencoba bergerak, sakit kepala semakin
menggerilya.
Setibanya di rumah sakit, suster mengambil darah, urin, dan memeriksa jantung saya. Berita buruk menyeruak di laporan tekanan darah; berkisar antara 200/100! Suasana semakin mencekam saat hasil CT scan mengumbar jejak pendarahan di dalam kepala; ternyata ada pembuluh darah yang pecah di otak kiri.
Penyiksaan semakin bengis, saya
mengemis-ngemis memohon dokter untuk menambahkan dosis si pereda sakit yang
mereka gempurkan melalui oral, infus, bahkan anus. Sayangnya, si pereda sakit
punya keterbatasan, mereka sudah memberikan dosis maksimal.
Dokter memastikan saya agar tetap
berbaring, memosisikan kepala selalu horisontal untuk menghindari penyebaran
tekanan darah di otak.
Makan, pipis, buang air besar, harus dilakukan dengan arah wajah menatap langit. Bila dalam dua minggu masih ada genangan darah di otak, mereka akan melakukan operasi otak untuk menyedot darah.
Berhubung saya buta pengetahun
medis dan terdorong sakit yang tak tertahankan, saya memohon dokter untuk
segera melakukan operasi secepat mungkin. Tapi begitu mereka menerangkan bahwa
salah satu risiko operasi buka batok kepala adalah stroke susulan, saya
mendadak bungkam.
Pedih sekali buah simalakama ini,
kok ibarat parade stroke.
Yang lebih ironis, dokter
mengingatkan saya untuk menghindari stres. Wow, ada yang tahu caranya untuk
tidak stres saat otak sedang berdarah?
Hari-hari menahan perih itu
terhiasi seribu penyangkalan. Setiap memelototi hasil CT scan, saya berharap
itu tertukar dengan pasien lain. Tapi saat ingatan mulai memudar, rasanya sulit
sekali untuk menyangkal—bahkan berpikir sekalipun.
Saya juga sempat-sempatnya
mendulang kemarahan. Saat dokter memvonis saya kena stroke hemoragik, pengin
banget pindah rumah sakit. Dia sekonyong-konyong menyimpulkan bila hipertensi
ini akibat genetik cuma karena saya bilang nenek dan ayah juga terkena stroke.
Saya tak yakin mana yang lebih genetik; tekanan darah atau kesukaan kami pada
makanan berlemak.
Kekecewaan pun tak luput
menyelimuti hati.
Ketika sang pembesuk menghibur,
”Kamu beruntung sekali masih hidup!” saya diam-diam menggerutu, beruntung itu
adalah ketika kita berhasil menjalani hidup tanpa gegar otak. Saat malam
tergelap menghadang, saya merasa tidak beruntung masih hidup (dan kesakitan).
Ketika seseorang memberikan
petuah, “Kamu diberikan kesempatan kedua untuk hidup!” saya mendadak memikul
beban mahahebat.
Ah, saya terlalu waswas,
sampai-sampai lupa menghargai segala macam dukungan dan suntikan pemikiran
positif teman-teman. Waswas itu bagai melihat semut dengan mikroskop. Semakin
terlihat besar, semakin menakutkan. Berlomba-lomba dengan menahan sakit. Saya
mencoba untuk memahami rasa sakit, menelaah berbagai rasa, tanpa harus terampas
emosi.
Emosi ini sungguh membingungkan
dan egois, karena yang paling saya khawatirkan adalah karir saya sebagai
penulis. Beberapa pagi saya lalui dengan hilang ingatan. Saya mendadak lupa
perbendaharaan kata. Jangankan berbicara, menulis pun ngawur. Saya bahkan tidak
bisa menyebutkan nama sendiri.
Saya masih ingat siapa saya, tapi
sungguh sulit untuk menjabarkannya.
Perasaan ini sungguh terasing,
semua jadi serba keliru.
Seperti keliru menafsirkan
antusiasme dan kebahagiaan. Kalau tidak terlalu gembira, saya terlalu sedih.
Emosi ini sering terpengaruhi faktor eksternal. Saya sering mengabaikan
kebutuhan tubuh. Ternyata sikap “Ini badan gue—ya terserah gue!” malah menyusahkan
keluarga dan teman-teman.
Kemudian, pertanyaan paling
mengerikan pun muncul: “Saya bakal lumpuh, ya?”
Dokter menjelaskan
perlahan-lahan, bahwa efek stroke variatif, tergantung tipe; apakah pembuluh
tersumbat (iskemik) atau pembuluh pecah (hemoragik—seperti yang saya alami),
lokasi juga menentukan; apakah terjadi di otak kiri atau otak kanan, lalu
jumlah pembuluh yang bermasalah dan volume darah yang menekan otak juga punya
peranan.
Jadi, pilihan terbaik adalah
menunggu dalam kesengsaraan. Tapi penglihatan saya berangsur baik, berharap ini
pertanda kabar baik.
Alhamdulillah, akhirnya ada kabar
menenangkan berdendang di telinga. Hasil CT scan berikutnya, genangan darah di
otak saya telah kering. Saya diperbolehkan pulang. Yang melegakan, saya sudah
bisa menolehkan kepala. Aktivitas yang biasa menjadi sangat istimewa.
Pertolongan pun berdatangan,
salah satunya dari wanita berhati emas, Ibu Robin Liem, pemilik Yayasan Bumi
Sehat. Beliau mengizinkan saya tinggal di rumahnya yang nyaman. Saya dirawat
dengan berbagai terapi seperti akupuntur dan bekam, juga diasupi makanan
menyehatkan dan ramah untuk penderita darah tinggi. Saya menjelma menjadi
pescatarian—minus seafood; vegetarian plus ikan dengan sedikit garam dan
sedikit gula.
Seringkali saya rindu makan
sirloin steak, tapi acapkali pula terhadang bayangan penderitaan. Jangan-jangan
memang benar, kita memang lebih termotivasi rasa sakit ketimbang rasa
senang—setidaknya berlaku buat saya. Secara saklek, sakit telah mengajarkan
saya tentang kasih, mengingatkan untuk tetap bernapas. Saya cenderung menahan
napas kala kesakitan. Padahal bernapas dalam-dalam adalah pereda sakit
alami. Setiap merasa perih saat jarum
akupuntur menembus kulit, saya merayakannya. Karena ternyata, tak punya
perasaan itu lebih mengerikan.
Lambat laun, saya mencoba
bergerak, walau jalan masih menyerupai gorila mabuk. Setiap melangkah,
ketakutan untuk jatuh selalu membayang. Rasanya stamina fisik tak pernah cukup,
sampai kemudian seorang sahabat menyelamatkan; menggenggam tangan saya untuk
berjalan mengelilingi Monkey Forest. Perlahan, saya menikmati energi yang
mengaliri sekujur tubuh.
Walau terkadang kenikmatan itu
terhadang potongan berbagai kenangan misterius yang tayang bagai video remix.
Bikin gelagapan! Memori dan suasana hati berkali-kali menayangkan kenangan yang
begitu kuat, membuat saya seolah kembali ke masa lalu. Saya bangun sebagai anak
berusia 8 tahun, bersiap-siap sekolah. Di pagi lain, saya bangun-bangun sibuk
mencari celemek, kembali ke zaman saat saya kerja di Saudi Arabia 6 tahun lalu.
Ketika ingatan buruk itu
menghadang, saya berusaha kembali mengingat memori bahagia. Anehnya, ketika
taktik itu berhasil, saya malah semakin sedih. Duh!
Saya masih harus belajar untuk
bisa menerima segala macam kepedihan, termasuk kenangan buruk. Bagaimanapun,
kenangan-kenangan buruk itu membentuk saya saat ini. Setidaknya, saya kembali
diberikan kemampuan untuk mengingat.
Termasuk mengingat dengan jelas
mimpi-mimpi yang terukir setiap malam. Dimulai dari sebuah malam yang terhiasi
arakan awan hijau, membuat saya tersadar sedang mengarungi alam mimpi. Mendadak
semua elemen mimpi bisa saya atur. Tiba-tiba punya kesibukan baru: menciptakan
pantai dengan matahari keperakan dan pasir yang menyala-nyala. Saya bahkan
mampu menghadirkan teman-teman yang sudah lama tidak saya temui. Ternyata lucid
dreams ini efek dari pil penguat otak yang saya konsumsi secara teratur.
Momen-momen canggung pun kerap
menghampiri. Ketika harus menandatangani dokumen bank, saya berkali-kali gagal
meniru tandatangan di KTP sendiri. Sampai-sampai petugas bank menatap
curiga; seakan-akan saya sedang
memalsukan tanda tangan orang lain.
Lama-lama, menerima tatapan
curiga itu jadi terbiasa. Berikutnya saya dapatkan dalam sebuah wawancara
majalah, saya sekonyong-konyong lupa semua judul buku yang saya tulis. Saya
masih ingat rupa sampul, tapi entah kenapa judul-judul itu lenyap dari ingatan.
Ibarat hapal muka, tapi lupa nama. Sayangnya ini seperti melupakan anak kandung,
bukan kenalan acak. Maafkan aku, buku-bukuku!
Saya masih penuh penyangkalan,
kemarahan, kekecewaan dan kebingungan, tapi tekad ini kian membulat untuk
sembuh. Masih sukar untuk berbicara dan menulis dengan kecepatan yang biasa
saya lakukan, tapi saya ingin kembali belajar dari nol bahkan minus sepuluh
sekalipun.
Tapi, tak semua yang lenyap
adalah kehilangan. Salah satunya adalah lenyap lemak! Saya berhasil mengikis
lemak 20 kilogram dalam 5 bulan dengan mengubah gaya hidup: banyak minum,
banyak jalan kaki, banyak sayur.
Setiap hari ada rangkaian nomor
yang saya awasi untuk mengalahkan si pembunuh senyap. Bukan, bukan lagi terpaku
nomor followers, jumlah likes atau nomor-nomor penentu popularitas lainnya,
tapi angka-angka tekanan darah. Lupakanlah gadget-gadget terbaru itu, yang saya
pedulikan cuma tensimeter. Dan ah! Sayangnya saat terlalu bersemangat, tekanan
darah melonjak tinggi. Saatnya menenangkan diri, bernapas dalam-dalam dan minum
air putih.
Berbagai tantangan semakin
berdatangan, tapi saya masih semangat untuk pulih, menulis, mencintai dan
memahami perspektif baru. Menjelajahi pulau ingatan menjadi pengalaman
perjalanan impian baru. Pendarahan di otak memberikan saya mimpi buruk, tapi
saya terbangun dikelilingi orang-orang yang baik hati. `
Saya meredefinisi 2015, tahun
yang bagai bertarung dalam arung jeram, berlayar dari sungai tenteram ke air
terjum nan curam. Saya benar-benar berharap, suatu saat bisa mengarungi lautan
tenteram, dikelilingi pulau-pulau molek dipenuhi pepohonan rindang.
No comments:
Post a Comment
Bebas komentar apa saja, asal damai. Terima kasih banyak :*