Saat itu, tiada yang lebih mengerikan dari tolah-toleh di kelas sementara yang lain sibuk menyelesaikan tugas. Ibu guru memberikan tugas menulis puisi.
Beliau memberikan petunjuk, untuk memudahkan menulis puisi, bisa dimulai dari sesuatu yang saya sukai.
Baik, mari kita coba.
Oh Sate kulit
Ke mana ati ampela?
Juga kau Jus alpukat!
Maukah pakai es krim?
Waduh, alih-alih puisi, malah tampak jadi menu warung untuk pelanggan plin-plan.
“Lima... menit... lagi!” Ibu guru memberikan peringatan yang membuat kepanikan saya kian meningkat.
Satu per satu teman mengumpulkan puisinya dengan gagah berani, membuat saya gelap mata; akhirnya menuliskan rangkaian kata yang akhir-akhir itu merajai benak saya.
Mungkin hanya jiwa yang tak terjaga jua
Dalam doa
Hingga khilaf menyentuh terasa bergetar
Ku berlalu
Saat terasa waktu telah hilang
Ku terdiam, oh!
Saat hanya gundah yang bertentangan
Ku bernyanyi
Cinta
Cita
Harapan
Dan ku terbawa dalam kisah lama
Tepat setelah waktu dinyatakan habis, saya sudah menaruh kertas isi 'puisi' Tentang Aku itu di meja Ibu Guru.
Beberapa hari kemudian, nilai puisi dibagikan, saya mendapatkan nilai 85 bonus pujian. “Kamu berbakat menjadi penulis.”
Aduh, mendadak tidak enak. Menjadi penulis plagiat, tepatnya, Bu! Puisi itu, kan, saya curi dari lirik lagu Tentang Aku milik Jingga yang saat itu baru saja menjadi lagu baru. Tapi saya tidak lantas terus terang. Terhanyut pujian, walau hati dilumuri rasa berdosa.
Hari demi hari, lagu Tentang Aku semakin sering mengalun, baik di radio maupun televisi. Membuatku gentar, bagaimana jika Ibu Guru tahu?
Sesaat sebelum pelajaran Bahasa Indonesia dimulai, selalu ada dialog imajinatif dalam kepala: “Kenapa puisimu sama dengan lirik lagu Jingga?”
“Hah? Jingga? Band apa itu, Bu? Eh, oops Saya tidak tahu itu Band, kok?! Saya tidak pernah dengar? Sumpah Bu, saya tidak mencontek! Kebetulan saja itu, Bu!”
Iya, kebetulan ketahuan. Ini, sih, mengaku pura-pura tak bersalah. Haduh, tidak. Saya berjanji, jika sampai ketahuan Ibu Guru, saya akan mengaku!
Namun, beliau tidak pernah menanyakan 'puisi' itu kepada saya sama sekali. Tahun demi tahun, dekade demi dekade, setiap mendengar lagu Tentang Aku, rasa bersalah itu kembali melumuri hati.
Hingga tibalah suatu hari saya menerbitkan karya sendiri. Lalu terkena getahnya, getah pembalasan pencurian kata. Beberapa bulan setelah novel pertama saya terbit, saya mendapatkan laporan dari seorang pembaca tentang seorang 'blogger ternama'—julukan ini saya kutip dari header blognya, yang mengutip satu puisi utuh saya dari novel Joker. Saya sempat mengira ia lupa menaruh sumber buku saya. Tapi saat melihat beberapa komentar yang memuji-muji si blogger berikut balasannya, membuat hatiku mendidih.
Komentar pembaca: Wah, puisi lo keren! Lo mesti bikin buku!
Balasan si blogger: Ah masa? Puisi gue masih jelek lah!
Hey, pujian itu harusnya untuk saya! Dan sudah dicuri, kaubilang jelek pula? Peler kuda banget! Seakan lupa dosa masa lalu, saya yang saat itu mudah murka, segera menanyai si blogger ternama. “Kenapa kamu copy paste puisi saya di novel Joker?”
Sungguh tak terduga—atau barangkali terduga tapi masih tak menyangka, si blogger ternama balik memarahi saya: “Novel Joker apa? Saya tidak pernah baca dan tidak tahu ada novel itu! Kalau misalnya sama, itu hanya kebetulan! Kamu pikir yang suka nulis puisi itu kamu saja? Kalau sama itu lumrah kali! Lagipula kamu siapa?”
Sebentar, jadi kalau lebih ternama boleh mencuri karya cipta semena-mena? Saya mendadak dramatis. 'Puisi jelek' yang ia curi itu saya tulis dengan susah hati. Iya memang, saat itu, novel saya belum pernah bertengger di deretan buku laku, tapi saya berani mempertanggungjawabkan kerja keras saya sampai novel itu berhasil terbit.
Beberapa hari setelah saling nyolot, postingan itu ia hapus. Itu pun dengan embel-embel menyebalkan, “Saya tidak mau ribut. Ada penulis tidak laku ingin tampil!”
Saya semakin geram! Saya ingin dia minta maaf! Lalu, lagu Tentang Aku pun mengalun dalam benak. Saya mendadak agak jinak. Tapi kan? Tapi kan! Ah, ya sudahlah.
Ketika era sosial media merajai ruang berekspresi, orang yang tertangkap basah mencuri kata-kata pun semakin banyak, entah itu lelucon ber-hashtag di Twitter, status kehidupan dan kematian di Facebook, sampai caption puitis di Instagram. Sedihnya, 10 dari 10 orang yang diduga (mari mencoba ber-khusnudzon) plagiat itu tak pernah terus terang, malah tiba-tiba marah dan menghina karya yang diduga dicuri.
Di era yang mana maling yang tertangkap basah pun bisa berteriak-teriak mengaku sebagai pihak teraniaya atau korban rundung massal, saya semakin susah berharap. Saat ini, seolah ada kiat sesat yang berlaku umum; bila tertangkap basah melanggar hukum, halaulah dengan pencemaran nama baik.
Dari media sosial pula, saya dikabarkan pendengar; ada sebait lirik lagu baru yang serupa dengan lagu yang saya tulis lima tahun lalu. Saya mencari tahu siapa penulisnya. Ia rupanya sudah 'diserang' para netizen berkaitan dengan kemiripan lirik lagunya dengan lirik lagu ciptaan saya.
Andai yang kembar hanya beberapa kata—atau bahkan satu kalimat, tentu kita tak akan mudah untuk berburuk sangka. Saya diam-diam butuh kejutan. Sayangnya, respons sang penulis seperti yang sudah-sudah; “Itu hanya kebetulan semata” ditambah “Saya tidak pernah dengar lagu yang Anda tuduhkan!”. Ia juga memberikan polesan “penyanyi saya lebih populer ketimbang penyanyi lagu lama yang tidak terkenal itu!” pada alasan yang dilontarkannya.
Rata-rata mereka yang tertangkap basah atau katakanlah terduga basah selalu menyebutkan alasan yang serupa. Apakah ada perjanjian di antara para pencuri kata untuk menggunakan alasan yang sama? Atau itu lagi-lagi cuma kebetulan semata?
Kalau saya jadi penulis yang diduga mencuri kata, saya ingin sekali mempelajari karya yang diduga dicuri. Siapa tahu secara tak sadar saya memang pernah terinspirasi, atau jangan-jangan kami memang memiliki ide yang identik—ini pun bisa diperdebatkan, sebab ide bisa sama tetapi penerjemahan dalam bentuk karya tak akan sama.
Dan bila memungkinkan, bila ada kesempatan rilis/terbit ulang, saya akan mengubah karya saya demi menghindari kemungkinan pelanggaran hukum dan terlebih menghormati karya yang sudah ada.
Ibarat saya membuat merek baru—yang asli ide sendiri tapi sama dengan merek yang sudah terdaftar, ini bukan lagi sekadar keaslian ide, tetapi mengalah pada nama yang sudah eksis lebih dulu.
Ah, lagi-lagi, lagu Tentang Aku kembali tersenandung dalam benak. Lagu itu menyindir hati, seraya diingatkan kalau saya pernah memakai mekanisme primitif saat ketahuan bersalah: marah-marah.
Ibarat menabrak mobil teman, mekanisme pembelaan dirinya seperti ini:
Tertabrak : “Elo nabrak mobil gue, ya?”
Penabrak : “Hah? Nggak lah! Mobil lo yang mana aja gue gak tahu!”
Tertabrak : “Lah ini belakang mobil gue penyok, bumper mobil lo juga penyok. Ada cat mobil gue pula! Ngaku aja lo!”
Penabrak : “Jangan nuduh! Ini cuma kebetulan semata! Lagian, mobil gue, kan, lebih mahal dari lo!”
Kita sungguh mudah berpura-pura; dengan mudah menjelma perkasa dan meremehkan yang lain. Detik berikutnya, kita menjelma korban, bahkan seolah-olah orang yang paling teraniaya. Namun, soal isi hati adalah lain perkara. Akan selalu ada ruang waswas dengan tenggat waktu tak terbatas. Apalagi bila karya curianmu ternyata menjadi besar dan selalu dipertanyakan.
Seorang sahabat; Windy pernah bilang, ‘Pujian itu candu. Plagiat itu, sih, tabiat.’
Sekali nggak ketahuan, pelaku akan keenakan dan melakukannya lagi. Lantas mau pura-pura sampai kapan? Atau mau menjadi kreator yang berkarya dengan ‘mencuri’ sampai kapan?
Maafkan saya, Ibu guru & Jingga. Hati kacau ternyata hukuman yang setimpal. Semoga mengaku dan meminta maaf adalah penawar kebebasan.
Baik, mari kita coba.
Oh Sate kulit
Ke mana ati ampela?
Juga kau Jus alpukat!
Maukah pakai es krim?
Waduh, alih-alih puisi, malah tampak jadi menu warung untuk pelanggan plin-plan.
“Lima... menit... lagi!” Ibu guru memberikan peringatan yang membuat kepanikan saya kian meningkat.
Satu per satu teman mengumpulkan puisinya dengan gagah berani, membuat saya gelap mata; akhirnya menuliskan rangkaian kata yang akhir-akhir itu merajai benak saya.
Mungkin hanya jiwa yang tak terjaga jua
Dalam doa
Hingga khilaf menyentuh terasa bergetar
Ku berlalu
Saat terasa waktu telah hilang
Ku terdiam, oh!
Saat hanya gundah yang bertentangan
Ku bernyanyi
Cinta
Cita
Harapan
Dan ku terbawa dalam kisah lama
Tepat setelah waktu dinyatakan habis, saya sudah menaruh kertas isi 'puisi' Tentang Aku itu di meja Ibu Guru.
Beberapa hari kemudian, nilai puisi dibagikan, saya mendapatkan nilai 85 bonus pujian. “Kamu berbakat menjadi penulis.”
Aduh, mendadak tidak enak. Menjadi penulis plagiat, tepatnya, Bu! Puisi itu, kan, saya curi dari lirik lagu Tentang Aku milik Jingga yang saat itu baru saja menjadi lagu baru. Tapi saya tidak lantas terus terang. Terhanyut pujian, walau hati dilumuri rasa berdosa.
Hari demi hari, lagu Tentang Aku semakin sering mengalun, baik di radio maupun televisi. Membuatku gentar, bagaimana jika Ibu Guru tahu?
Sesaat sebelum pelajaran Bahasa Indonesia dimulai, selalu ada dialog imajinatif dalam kepala: “Kenapa puisimu sama dengan lirik lagu Jingga?”
“Hah? Jingga? Band apa itu, Bu? Eh, oops Saya tidak tahu itu Band, kok?! Saya tidak pernah dengar? Sumpah Bu, saya tidak mencontek! Kebetulan saja itu, Bu!”
Iya, kebetulan ketahuan. Ini, sih, mengaku pura-pura tak bersalah. Haduh, tidak. Saya berjanji, jika sampai ketahuan Ibu Guru, saya akan mengaku!
Namun, beliau tidak pernah menanyakan 'puisi' itu kepada saya sama sekali. Tahun demi tahun, dekade demi dekade, setiap mendengar lagu Tentang Aku, rasa bersalah itu kembali melumuri hati.
Hingga tibalah suatu hari saya menerbitkan karya sendiri. Lalu terkena getahnya, getah pembalasan pencurian kata. Beberapa bulan setelah novel pertama saya terbit, saya mendapatkan laporan dari seorang pembaca tentang seorang 'blogger ternama'—julukan ini saya kutip dari header blognya, yang mengutip satu puisi utuh saya dari novel Joker. Saya sempat mengira ia lupa menaruh sumber buku saya. Tapi saat melihat beberapa komentar yang memuji-muji si blogger berikut balasannya, membuat hatiku mendidih.
Komentar pembaca: Wah, puisi lo keren! Lo mesti bikin buku!
Balasan si blogger: Ah masa? Puisi gue masih jelek lah!
Hey, pujian itu harusnya untuk saya! Dan sudah dicuri, kaubilang jelek pula? Peler kuda banget! Seakan lupa dosa masa lalu, saya yang saat itu mudah murka, segera menanyai si blogger ternama. “Kenapa kamu copy paste puisi saya di novel Joker?”
Sungguh tak terduga—atau barangkali terduga tapi masih tak menyangka, si blogger ternama balik memarahi saya: “Novel Joker apa? Saya tidak pernah baca dan tidak tahu ada novel itu! Kalau misalnya sama, itu hanya kebetulan! Kamu pikir yang suka nulis puisi itu kamu saja? Kalau sama itu lumrah kali! Lagipula kamu siapa?”
Sebentar, jadi kalau lebih ternama boleh mencuri karya cipta semena-mena? Saya mendadak dramatis. 'Puisi jelek' yang ia curi itu saya tulis dengan susah hati. Iya memang, saat itu, novel saya belum pernah bertengger di deretan buku laku, tapi saya berani mempertanggungjawabkan kerja keras saya sampai novel itu berhasil terbit.
Beberapa hari setelah saling nyolot, postingan itu ia hapus. Itu pun dengan embel-embel menyebalkan, “Saya tidak mau ribut. Ada penulis tidak laku ingin tampil!”
Saya semakin geram! Saya ingin dia minta maaf! Lalu, lagu Tentang Aku pun mengalun dalam benak. Saya mendadak agak jinak. Tapi kan? Tapi kan! Ah, ya sudahlah.
Ketika era sosial media merajai ruang berekspresi, orang yang tertangkap basah mencuri kata-kata pun semakin banyak, entah itu lelucon ber-hashtag di Twitter, status kehidupan dan kematian di Facebook, sampai caption puitis di Instagram. Sedihnya, 10 dari 10 orang yang diduga (mari mencoba ber-khusnudzon) plagiat itu tak pernah terus terang, malah tiba-tiba marah dan menghina karya yang diduga dicuri.
Di era yang mana maling yang tertangkap basah pun bisa berteriak-teriak mengaku sebagai pihak teraniaya atau korban rundung massal, saya semakin susah berharap. Saat ini, seolah ada kiat sesat yang berlaku umum; bila tertangkap basah melanggar hukum, halaulah dengan pencemaran nama baik.
Dari media sosial pula, saya dikabarkan pendengar; ada sebait lirik lagu baru yang serupa dengan lagu yang saya tulis lima tahun lalu. Saya mencari tahu siapa penulisnya. Ia rupanya sudah 'diserang' para netizen berkaitan dengan kemiripan lirik lagunya dengan lirik lagu ciptaan saya.
Andai yang kembar hanya beberapa kata—atau bahkan satu kalimat, tentu kita tak akan mudah untuk berburuk sangka. Saya diam-diam butuh kejutan. Sayangnya, respons sang penulis seperti yang sudah-sudah; “Itu hanya kebetulan semata” ditambah “Saya tidak pernah dengar lagu yang Anda tuduhkan!”. Ia juga memberikan polesan “penyanyi saya lebih populer ketimbang penyanyi lagu lama yang tidak terkenal itu!” pada alasan yang dilontarkannya.
Rata-rata mereka yang tertangkap basah atau katakanlah terduga basah selalu menyebutkan alasan yang serupa. Apakah ada perjanjian di antara para pencuri kata untuk menggunakan alasan yang sama? Atau itu lagi-lagi cuma kebetulan semata?
Kalau saya jadi penulis yang diduga mencuri kata, saya ingin sekali mempelajari karya yang diduga dicuri. Siapa tahu secara tak sadar saya memang pernah terinspirasi, atau jangan-jangan kami memang memiliki ide yang identik—ini pun bisa diperdebatkan, sebab ide bisa sama tetapi penerjemahan dalam bentuk karya tak akan sama.
Dan bila memungkinkan, bila ada kesempatan rilis/terbit ulang, saya akan mengubah karya saya demi menghindari kemungkinan pelanggaran hukum dan terlebih menghormati karya yang sudah ada.
Ibarat saya membuat merek baru—yang asli ide sendiri tapi sama dengan merek yang sudah terdaftar, ini bukan lagi sekadar keaslian ide, tetapi mengalah pada nama yang sudah eksis lebih dulu.
Ah, lagi-lagi, lagu Tentang Aku kembali tersenandung dalam benak. Lagu itu menyindir hati, seraya diingatkan kalau saya pernah memakai mekanisme primitif saat ketahuan bersalah: marah-marah.
Ibarat menabrak mobil teman, mekanisme pembelaan dirinya seperti ini:
Tertabrak : “Elo nabrak mobil gue, ya?”
Penabrak : “Hah? Nggak lah! Mobil lo yang mana aja gue gak tahu!”
Tertabrak : “Lah ini belakang mobil gue penyok, bumper mobil lo juga penyok. Ada cat mobil gue pula! Ngaku aja lo!”
Penabrak : “Jangan nuduh! Ini cuma kebetulan semata! Lagian, mobil gue, kan, lebih mahal dari lo!”
Kita sungguh mudah berpura-pura; dengan mudah menjelma perkasa dan meremehkan yang lain. Detik berikutnya, kita menjelma korban, bahkan seolah-olah orang yang paling teraniaya. Namun, soal isi hati adalah lain perkara. Akan selalu ada ruang waswas dengan tenggat waktu tak terbatas. Apalagi bila karya curianmu ternyata menjadi besar dan selalu dipertanyakan.
Seorang sahabat; Windy pernah bilang, ‘Pujian itu candu. Plagiat itu, sih, tabiat.’
Sekali nggak ketahuan, pelaku akan keenakan dan melakukannya lagi. Lantas mau pura-pura sampai kapan? Atau mau menjadi kreator yang berkarya dengan ‘mencuri’ sampai kapan?
Maafkan saya, Ibu guru & Jingga. Hati kacau ternyata hukuman yang setimpal. Semoga mengaku dan meminta maaf adalah penawar kebebasan.
Ah, sering banget nemu foto ber-caption luar biasa indah dan bijaksana di Instagram yang harusnya adalah quotes dari seseorang, tapi tidak disertakan. Sedih. Sayapun sering menggunakan quotes ciamik untuk caption foto, tapi selalu mengingatkan diri untuk menyertakan nama pencetusnya.
ReplyDeleteI like your writing, Kak Vab.
Suka tulisannya dan suka lagu ini
ReplyDelete