Selama ini, saya seringnya marah sama manusia yang mendadak jadi Tuhan, sih.
Itu loh, yang sekonyong-konyong tahu segalanya, merasa berhak menilai, menghakimi, abai nurani.
Misalnya, saat seseorang terserang penyakit ganas, manusia mendadak Tuhan itu berseru, “Kamu ini kena azab, sudah tobat?”
Misalnya, saat seseorang terserang penyakit ganas, manusia mendadak Tuhan itu berseru, “Kamu ini kena azab, sudah tobat?”
Atau seseorang yang baru kena stroke (iya, itu saya), baru saja hilang hingatan, buru-buru dinasihati, “Ini pertanda kamu kurang beriman! Kamu harus sering-sering membaca kitab suci dan beribadah."
Terima kasih untuk perhatiannya, saya yakin maksudmu baik—untuk saling mengingatkan sesama saudara, agar kita sama-sama jadi penghuni surga, kan? Ah, impian indah.
Tapi, boleh gak sih, minta waktu untuk menyembuhkan ingatan dulu? Menyebutkan nama lengkap saja belum mampu.
Boleh gak, bimbing saya untuk kembali berlatih berjalan kaki dulu? Sekadar berdiri saja masih gemetaran banget, mbak masnya.
Boleh gak, bimbing saya untuk kembali berlatih berjalan kaki dulu? Sekadar berdiri saja masih gemetaran banget, mbak masnya.
Karena sering mendapati manusia yang—anggap saja—berniat baik dengan cara kurang enak, saya jadi menyayangi mereka yang tidak senang menghakimi, menghargai mereka yang selalu memberikan harapan bahwa dunia ini masih layak ditempati, menghormati mereka yang meyakinkan saya untuk kembali semangat menggeluti hidup.
Sampai suatu ketika, Tuhan memanggil salah satu di antara mereka—meninggal di usia produktif. Lalu, salah dua. Kemudian salah tiga. Kok, satu persatu Kau panggil cepat, Tuhan?
Saya diam-diam geram, kenapa Tuhan mengambil cepat teman-teman kami—manusia muda berotak pintar berhati baik dan penyemangat hidup itu. Kenapa yang gemar adu domba dan menyebarkan fitnah Kau biarkan merajalela, Tuhan?
Di antara kegeraman, terdengar sebuah pesan mengudara, “Mereka berumur pendek, karena Tuhan sayang mereka.”
Loh, jadi Tuhan benci mereka yang berumur panjang?
Kadang demi menghibur diri, alih-alih jadi menyakiti hati.
Saya diam-diam geram, kenapa Tuhan mengambil cepat teman-teman kami—manusia muda berotak pintar berhati baik dan penyemangat hidup itu. Kenapa yang gemar adu domba dan menyebarkan fitnah Kau biarkan merajalela, Tuhan?
Di antara kegeraman, terdengar sebuah pesan mengudara, “Mereka berumur pendek, karena Tuhan sayang mereka.”
Loh, jadi Tuhan benci mereka yang berumur panjang?
Kadang demi menghibur diri, alih-alih jadi menyakiti hati.
Tapi dipikir-pikir, kemarahan ini rasanya egois sekali. Saya lupa, hidup kami ada jatah masing-masing. Ada yang senantiasa baik mendampingi sepanjang hidupmu, ada yang menyamankan hati beberapa saat namun membekas selamanya, ada yang numpang lewat tapi berkesan tiada tara.
Kita sungguh tak bisa menahan mereka untuk tetap berada dalam hidup ini, terlebih untuk selamanya.
Kita sungguh tak bisa menahan mereka untuk tetap berada dalam hidup ini, terlebih untuk selamanya.
Mumpung masih ada jatah kehidupan—yang entah berapa lama lagi ini, saya ogah jadi orang-orang yang bernapas dalam gelimang kemarahan, jangan sampai jadi duri dalam sekam—penghantar cobaan hidup orang-orang. Saya ingin jadi seperti mereka yang mampu mengembalikan kepercayaan, bahwa hidup di dunia ini bisa saling menyamankan, memudahkan.
Terima kasih untuk teman-teman yang sudah tiada, senang sempat mengenalmu. Kebaikanmu sungguh berkecambah dalam ingatan dan hati.
And you, my dear pain, thank you for humanizing me.
Sampai jumpa!
No comments:
Post a Comment
Bebas komentar apa saja, asal damai. Terima kasih banyak :*