Yah, gak usah liat langsung kaliii, maksut gue liatnya lewat tayangan TV yang kayaknya secara sadar gak sadar makin sering menengahkan tayangan kriminalitas sebagai hiburan. Sampai kasus reka ulangnya Ryan aja ditayangin pas jam prime time dan diberi judul ala sinetron misteri: Si Penjagal dari Jombang. Iklannya ditayangin berulang-ulang, dan konon punya rating tinggi. Ampe mainan dan foto Ryan aja laku dijual. Haaaa, from psycho to hero?!
Kita seolah disadarkan sebagai generasi gampang mati. Ayam tetangga sebelah baru mati tadi pagi, sorenya kita bisa sesek napas akibat flu burung. Ngelamun dikit di jalanan ibu
Tayangan kriminalitas menjelma bagai tayangan pencuci otak yang bikin cara mikir kita selayaknya orang parno atau malah cenderung psycho.
Saking parnonya, pernah suatu malam pas pulang kantor, kita satu ruangan berpelukan erat (sambil curi-curi grepe… HUSH), karena saat itu baru ditemukan mayat tergorok ditemukan di got dan korban mutilasi di dalam koper yang dibuang di daerah kantor kami. Sialnya (saat itu) pelaku belum ditemukan, dan ditengarai masih bergentayangan di daerah kami.
Kriminalitas dari zaman bahela memang udah mengancam jiwa tiap generasi tanpa terkecuali. Tapi entah mengapa sekarang TV menayangkannya seolah-olah untuk memuaskan hobi.
Kita yang udah bisa berpikir (sok) mateng, mungkin lebih beruntung, bisa memilah dan menyensor tayangan dengan akal pikiran kita. Tapi gimana adik-adik, keponakan, ataupun anak-anak kita yang masih polos dan nerima informasi tanpa filter. Bukannya sok-sok’an bijaksana atau sok peduli regenerasi, tapi gimana gak kaget kalo seorang keponakan yang belum genap 8 tahun udah nanya, “
Sungguh, gue rindu tayangan berita yang membosankan—tanpa hiasan darah sedikitpun, seperti tayangan Pak Presiden yang sedang menanam benih padi unggul supertoy (yang ternyata gagal panen juga). Ups, maaf, Pak :)
Kalo Madonna bilang dalam lagu Die Another Day-nya,”Hey Sigmund Freud, analyze this… this… this… this….”
Please send your comment to buhpy@yahoo.com