Search This Blog

Sunday, April 12, 2009

traumAUTISme

Gue selama ini mengira, gue tau apa yang gue lakuin dan omongin, sampai akhirnya lagi-lagi gue kena tampar. 

Tragedi dimulai ketika gue bertandang ke rumah temen yang tinggal bareng keluarga kakaknya. Pas di ruang makan, gue maen-maen sama keponakan temen yang masih balita. Dia lagi asyik mewarnai kertas pake crayon warna-warni. Sementara temen gue tampak terlibat obrolan serius sama kakaknya. Sumpah gue gak nguping, cuman kelihatan aja dari mimik wajahnya yang "berat". Oke, kedengeran, sih, dikit… cuman berhubung pake bahasa Jawa, yah gak ngerti juga :) 

“Heii… lagi apa, sih, kamuuh?” Tanya gue sambil ngejawil pipinya yang gembil. Si keponakan tetep asyik nyorat-nyoret kertas, lalu mengangkat kedua tangannya sambil tetap menggoyang-goyangkan jari jemarinya, seakan sedang menggambar di udara. Bibirnya manyun-manyun sambil sesekali mengeluarkan suara-suara absurd.

“Waaah, kamu lagi autis yaaa?!” Gue menepuk-nepuk halus pundaknya, masih mencoba mencuri perhatiannya. Seketika itu juga hening menyergap ruang makan bagai ruang hampa udara. Temen gue dan kakaknya mendadak diam seribu bahasa dalam kekakuan tubuh yang absolut. 

Gue sempet nyangka si keponakan nan menggemaskan ini punya kekuatan ala Hiro Nakamura di serial Heroes atau Piper-nya Charmed yang bisa menghentikan waktu. 

Sialnya daya nalar gue masih mandul ketika temen gue memantul-mantulkan bola hitam mata di sudut kelopaknya—berusaha memberikan sebuah isyarat.
Lagian jadi kayak kelilipan upil babi, tau :p




Belakangan setelah berhasil melewati masa hening yang membingungkan, gue baru tau kalo ternyata sang keponakan memang “lagi” Autis, dalam maksud yang sebenar-benarnya; sebagai penderita. 

Ah, gue bener-bener ngerasa tolol—dalam arti kata sebenarnya!
Selama ini sering memakai sebuah kata (autis), tapi lupa atau gak benar-benar ngerti akan artinya (gejala-gejalanya). Cara pakai yang gak pas malah bikin bablas. Niatnya mau sok akrab, malah jadi terjerembab. 

Untung saja kakak temen gue itu mau memaklumi dan sangat berbesar hati atas kekerdilan perangai gue yang salah ucap. 
Maaf ya, Mbak :( 

Pemakaian kata Autis memang semakin naik daun, biarpun belum sebrutal “narsis” atau “gokil”. Wujud kepopulerannya bisa terlihat dari maraknya penamaaan folder, caption atau komen foto di Facebook dengan judul “Lagi Autis” atau dengan penulisan yang lebih gaul gila semacam “Geng Autheezz”—diisi berbagai pose penuh kebanggaan lagi sibuk megang gadget-nya masing-masing.

Saking merakyatnya julukan ini, kita (gue) membombardir pemakaiannya secara sembarangan, jadinya ngelupain atau bahkan nggak meduliin adanya beberapa hati yang mungkin saja ngerasa tersakiti. 

Biar tragedi tadi gak keulang lagi, gue kayaknya mesti mencermati penggunaan kata konotasi atau yang mengalami penyimpangan arti—termasuk menghentikan kebiasaan ngejulukin orang, “Dasar lo SETAN tukang coli!”

Bakalan bener-bener gak lucu ya, kalo dia ternyata beneran hantu gentayangan yang gemar masturbasi…. 

Ha ha ha…………




Image of Ynot2006
Baca juga note terkait: Mencari pengganti kata autis dlm bahasa pergaulan oleh Arief Rachman.

[VB]

Pernah ketampar sama omongan sendiri juga? Bagi-bagi, yuk, di sini!



Grabbed from istribawel.com