Search This Blog

Wednesday, May 06, 2009

Pengakuan sadis seorang penulis “moody berbakiak”

Ketika buku pertama terpilih dalam 10 besar untuk kategori Penulis Muda Berbakat versi Khatulistiwa Literary Award 2007, gue bener-bener terperanjat hebat. Selain merasa tersanjung dengan pujian “berbakat”, gue juga terpukau akan pengakuan “muda”-nya. Oouch!.

Makanya agak-agak lega juga—sumpah bukan sok legowo—ketika yang megang tangga puncak kategori tadi bukan gue, melainkan penulis yang benar-benar cocok menyandang gelar tersebut. Yah, kalo urusan berbakat atau tidak, cuma Tuhan yang paling jago menilai. Tapi kalo urusan “muda”, dialah yang paling berhak juara.
Aaah... andai saja kategori "muda berbakat" itu berubah jadi "moody berbakiak", pasti gue-lah sang pemenang tunggal—tanpa diragukan! Dijamin! Dan jangan tanya kenapa... :p.

Meskipun gue bukan pemilik mahkota tertinggi—dan keberadaan ajang penghargaan ini belum sepopuler pagelaran Oscar atau bahkan Dahsyat Award (yang tampak lebih cocok dinamai ArieLuna show-off award)—tapi cukup ngasih dampak yang kadang bikin gue keteteran, karena beberapa oknum tiba-tiba menganggap gue “hebat”—padahal belum pernah baca buku atau tulisan gue dalam bentuk apa pun.

Hal lain yang juga bikin keteteran adalah bertubi-tubinya pertanyaan tertentu yang rajin bertandang saat acara bedah buku, interview radio, atau bahkan ketika pijat plus-plus. (Plus nanya-nanya maksudnya).

Eeeh, pertanyaan tertentunya ini bukan yang biasa jadi curhatan umum antara sesama penulis (meskipun sama-sama ganggu* sih): “Bagi buku gratis, doong? Gue kan sobat lo?!”
*Ganggu-nya itu lebih karena kita gak bisa (selalu) mengabulkan permintaan aladinnya itu. Kadang mereka lupa kalo kita ini penulis, bukan toko buku yang kadang untuk ngasih yang “gratisan” itu kita juga mesti beli sendiri. Dan bisa ditebak akhirnya pertanyaan ini berakhir dengan pernyataan “Dasar pelit lo!”
Heuh... padahal andai aja punya jatah ribuan gratis eksemplar, tentu saja semua orang (yang tiba-tiba mengaku) sahabat bakal gue bagi satu-satu :).
Tapi ya sudahlah, lain derita lain berita, lah ya...

Heeuh... sorry ngalor ngidul. Maklum kalo curhat colongan gak bisa berhenti :p

Balik lagi ke pertanyaan tertentu tadi—yaitu, “Berapa, sih, royalti buku anda?” atau “Udah bisa beli apa aja dari buku?”dan berbagai bentuk pertanyaan lain yang intinya adalah, “Bisa kaya raya gak dari nulis buku?”

Selain serupa dengan “Gaji lo berapa, sih?”, pertanyaan itu kerasa berduri tajam karena gue belum termasuk penulis mega best seller macem Andrea Hirata atau Raditya Dika. Atau bisa jadi itu pertanyaan jebakan buat ngukur apakah gue seorang pecundang atau pejuang :p.

Jawaban untuk pertanyaan tadi, pasti bakal gue awali dengan senyum mistis, mengingat masa ketika gue sibuk bagi-bagi draft novel pertama untuk minta komentar, mental gue seolah-olah memang sudah dibentuk kalo, “Buku lo ini bukan tipikal buku best seller... gelap, susah dijual, terlalu segmented.”
Ya emang iya sih, itu juga yang ada di benak gue pas ngasih titel draft pertama itu yang aslinya berjudul “Kecoa Tuna Susila"--kayaknya memang bukan tipe novel yang akan “disebut dengan bangga” oleh pembelinya.

“Hei lagi baca buku apa?”
“Mmmh... (ragu) Kecoa... (volume suara semakin mengecil) tuna.. susila.... gitu deeey...”

Tapi keberuntungan pun datang seiring dengan bantuan teman baik yang berlanjut dengan sambutan sebuah penerbit besar yang berbesar hati untuk menerbitkan buku ini.

....

Lalu senyum mistis pun perlahan berubah jadi senyum miris mengingat mulai maraknya cita-cita sebagai "penulis (yang) best seller”. Cita-cita yang sama sekali nggak salah, kok... tapi kalo disikapi dengan mental kacang malah bisa jadi boomerang. Alih-alih giat berlatih, yang ada malah "trauma" nulis sebagai wujud kekecewaan akibat mendapatkan penolakan dari penerbit atau yang lebih ngeri lagi; penolakan dari pembaca.

Kalo ngerasa mandeg kayak gitu, mungkin kita mesti sering-sering ngobrol dengan para penulis andal biar tau gimana cara mereka mengolah penolakan menjadi sebuah kemenangan..Tanya saja JK Rowling, berapa kali dia menerima penolakan sebelum akhirnya naskah Harry Potter diterbitkan Bloomsbury—yang kemudian sukses menghasilkan puluhan juta pound sterling?

Juga buat yang ngerasa mangkel karena bukunya berakhir di meja obral, coba chatting sama Paulo Coelho buat nanyain berapa biji cetakan pertama buku The Alchemist yang terjual di tahun 1988—sampai-sampai penerbitnya memutuskan buat gak nyetak lagi?

Andai Coelho putus asa, tentu The Alchemist gak akan muncul dalam Journal de Letras de Portugal—14 tahun kemudian!—yang dianugerahi sebagai buku berbahasa Portugis yang terjual paling banyak dalam sejarah!** Dan kalo mental dia secemen kulit berkolagen, mungkin gue saat ini akan lebih mengenali Paula Abdul daripada Paulo Coelho.
**sumber: biografi penulis @The Witch of Portobello

Nah, kalo boleh agak-agak curhat colongan (lagi), pengalaman gue justru agak-agak berbalik sama Paulo Coelho.
Gue justru sumringah duluan pas mergokin Joker ada di rak “best seller” salah satu toko buku di Bandung—sampai-sampai gue foto dan pajang di etalase maya :))
Sumringah itu sontak berubah terperangah pas belakangan tau kalo “best seller”-nya itu cuman beskala lokal, karena justru Joker ternyata masuk daftar retur pada jaringan toko buku terbesar yang paling berkuasa senusantara itu—karena "tidak beruntung" di semua medan perang.
Jadinya suka miris kalau ada anggapan Joker sebagai buku langka; susah dicari seakan laku keras—padahal balik gudang seolah kertas bekas...
Karena itulah gue diem-diem sering ngeluarin statement yang agaknya dihujat oleh penerbit mana pun: “Silakan baca buku saya... terserah mau beli, minjem, atau bahkan fotokopi.”

Maaf... gak maksud untuk mengecilkan peran penerbit, distributor, atau toko buku... juga bukan karena gue sok-sok anti harta dan tahta... tapi justru di sinilah jawaban yang gue dapet buat nge-handle pertanyaan tertentu tadi... karena nyatanya ada juga “bayaran” yang gak bisa disamain dengan nilai rupiah, atau bahkan pound sterling sekalipun...
... yaitu ketika seseorang asing datang dan menyalami tangan kita dengan hangat, lalu bilang bahwa buku kita telah membantu hidupnya... atau ketika ada seseorang yang begitu rela mengisi waktunya untuk mereview buku kita—sekaligus membuat sinopsis versinya sendiri yang jauh lebih megah daripada versi asli... atau bahkan ketika gak sengaja mergokin orang yang cuman sekadar megang buku kita di busway, cafe, WC umum, atau bahkan pemakaman.

Dan rasa takjub terus mengalir ketika ada pembaca yang berhasil menangkap pesan-pesan tersembunyi dalam novel / blog gue... atau bahkan ada yang mampu menginterpretasikan sesuai dengan pemahaman dan pengalamannya masing-masing, sehingga mendapat makna yang bahkan gak kepikiran gue sebelumnya (you know who you are—thank you!)

Itu cuma segelintir alasan yang bikin gue semakin mantap untuk terus menulis.
Ketika rasa berhasil diekspresikan dengan kata-kata, seketika itu juga ada pemusnahan gundah yang kian berkecambah atau bahkan dendam yang diam-diam makin guligulidangdam (makin maksa, ya :)).

Untuk mereka yang benar-benar mengenal gue atas bawah-depan belakang-samping kiri kanan-luar dalem, pasti ngeh kalo menulis bagi gue juga merupakan salah satu perjuangan terapi pengobatan sakit jiwa. Gue kadang menyelipkan berbagai permasalahan pribadi melalui eksplorasi karakter-karakter dalam karya fiksi untuk kemudian disandingkan dengan berbagai karakter imaginer... lalu keajaiban pun muncul... sebuah jawaban yang gue cari-cari sejak lama datang secara misterius.

Ya, ya, ya... lo boleh bilang kalo berbagai hikayat “uang bukan segalanya” ini cuman penghiburan bagi pecundang... tapi coba tanya Manohara, apakah kekayaan kerajaan Kelantannya itu bisa menghilangkan perihnya payudara yang konon tersayat-sayat itchu?
Ouuw bahkan saat menulisnya pun puting gue kerasa ngilu...dan sedikit horny... (loh?)


Sebagai penutup berkedok kesimpulan berisi pesan moral (aduuh, harus ya???)...
kalo memang seorang penulis tiba-tiba menjadi profesi yang menggiurkan bagi lo, moga-moga gak cuma euforia sesaat atau hanya berakhir dengan pengumpul kata-kata memesona tapi hanya copy-paste belaka.

Memang harus diakui, kalo kegiatan menulis memang makin laris dan—menurut gue—adalah hobi yang terselamatkan oleh zaman. Coba, deh, sekitar 10-15 tahun yang lalu, mana ada, sih, cowok dengan bangganya mengakui punya hobi menulis, apalagi berani nunjukin “buku diari”? Meskipun Catatan si Boy telah memulai hobi ini di era 80-an, tapi tetep saja kegiatan menulis terasa diwarnai “pelecehan gender”. Dan sekarang, semua orang—gak terkecuali cowok-cowok metal nan gahar—punya “buku diari” yang justru secara terang-terangan disebarluaskan dan dapat dibaca siapa saja dalam bentuk blog.

Tapi sebenernya biar bisa jadi penulis gak perlu maksain punya buku, kok. Toh, banyak penyanyi yang tidak beralbum ria, tapi bertalenta melebihi diva berplatinum lima.

Gak perlu nunda lama-lama lagi, berkarya dengan aksara bisa dimulai di sini, sana, sono, atau terserah aja laaah...

Sekali lagi, maaf bila ada yang tersakiti, karena gue cuma pengen berbagi dari hati...

Tengki bensin alias thank you ya cyiiiin :)

[VB]

Mau ikut berbagi? Yuk di sini!