Pada suatu masa, terdengar bisik-bisik memekakkan telinga, “Biasanya orang luar datang dan menetap di Bali karena kabur dari masalah.”
APA, seenaknya saja menghakimi!
Eits, tapi pas 2012, saya melakukannya sih; kabur dari kerusuhan emosi. Berawal dari cuma dua minggu, disusul berjuta rindu.
Akibat penasaran, apakah saya secinta itu sama Ubud atau hanya sebatas pelarian, pada Agustus 2014 akhirnya nekat hijrah dengan membawa bekal delapan potong kaus dan empat celana dalam. Coba dulu deh, ngekos sebulan saja, pikir saya saat itu.
Eh, ternyata lanjut!
Masuk bulan kedua, wah beli papan jemuran.
Bulan ketiga, oops beli perabotan.
Bulan keempat, waduh pasang tv kabel! Ini merupakan komitmen yang sungguh serius!
Akhirnya memasuki bulan delapan, saya baru berani menulis postingan tentang hal ini. Hal yang perlu dibaca perlahan tengah malam. HIHIHI!
Oh iya, tapi kenapa milih kabur ke Ubud? Ya, abis hidup di London mahal banget. Itu jawaban versi menyebalkan, walau ¼ nya benar. Tapi sungguh senangnya, di sini beberapa kali bermain bersama dan mendengarkan kisah orang dari berbagai negara, membuat saya merasa sudah keliling dunia tanpa harus keluar pulau.
Lalu, apa gak bosen tinggal di Ubud? Ah, di manapun saya tinggal, pasti akan ada bosannya. Jadi tinggal milih, mau bosan di mana?
Memang ada beberapa pekerjaan ala ibukota yang tidak lagi bisa saya raih di desa, tapi banyak kenyamanan ala desa yang tidak saya rasakan di kota.
Lagian, kalau berdisko mewah—mepet sawah sih, masih bisa kok.
Tidak banyak yang tahu, kalau kehidupan saya di Ubud pun mendadak glamor—gerak langkah tergantung motor. Seminggu pertama sih, nekat pakai sepeda. Tapi setelah mengelilingi Ubud dari Sayan-Tebongkang-Nyuh Kuning-Monkey Forest, sesampainya di supermarket Bintang malah minta jemput sopir karena mata bergelimang kunang-kunang.
Tapi ternyata tak semua sopir mau sertamerta mengantar saya!
Kisah tragis ini bermula saat saya mengenali Ubud lebih dekat, dengan cara jogging. Iya, gara-gara jalan ganteng—tengok kiri kanan, jadi bisa tahu berbagai lokasi warung enak atau sekadar rute tukang roti keliling.
Sampai suatu sore, saya kebablasan jalan kaki, tiba-tiba saja sudah malam di Penestanan. Buat yang di Bandung, bayangkan Cigadung untuk membayangkan area ini. Untuk yang di Jakarta, boleh inget-inget Jagakarsa. Untuk yang lain, lihat saja video yang saya ambil sambil naik motor ini.
Saking gelap gulitanya jalanan, sinar ponsel dan senter powerbank tidak membantu. Satu-satunya cahaya datang dari lampu kendaraan, yang sayangnya terlalu cepat untuk diikuti. Tampaknya mereka pun terburu-buru melewati jalanan berkelok-nanjak ini.
Untunglah ada seorang bapak-bapak yang sedang asyik nangkring di bale-bale.
“Pak, maaf nih, boleh minta antar melewati kelokan depan gak, abis gelap banget,” pinta saya tersipu malu.
“Waduh, lewat kuburan itu ya?” Kelopak matanya melebar.
“Iya, Pak.” JUSTRU ITU ALASAN UTAMANYA. “Saya agak... takut.” Saya makin cengengesan.
“Iya, saya juga,” eh si Bapak cengengesan balik!
“Lah, bapak bukannya warga sini?”
“Iya, tapi tetap kalau gelap sih, seram.” Akhirnya ia mau mengantarkan saya, tapi melewati rute lain yang gak kalah seramnya. Kala melewati jembatan, pohon beringin, dan segenap area yang bikin bulu kuduk berdiri, ia selalu membunyikan klakson sebagai permohonan izin untuk segenap makhluk lain yang mendiami daerah itu, “Biar mereka tahu kita akan lewat. Kan kalau ketabrak gak cuma mereka yang sakit, kita juga bisa celaka.”
Diam-diam, saya menerka-nerka bagaimana bentuk 'mereka'.
Sampai beberapa hari kemudian ada beberapa teman yang membocorkan salah satu rupanya. Biasanya dimulai dengan percakapan, “Kamu di Ubudnya tinggal di mana?”
“Sayan.”
“Ooh, itu sih bukan Ubud.”
“Iya kan deket-deketan lah.” Saya sering lupa, kalau Ubud itu kecamatan—bukan kota atau desa, terletak di kabupaten Gianyar. Barangkali ibarat ke Jakarta, lagi di Pasar Minggu pun bilangnya Pancoran. Atau sudah tahu mantan masih anggap pacaran. Maaf ya.
“Oh ya, di Sayan itu masih banyak orang cari ilmu. Dulu pernah subuh subuh, ada kejadian suara gaduh di kos-kosan yang lokasinya tepat di sebelah sebuah resort.”
“Jangan bilang resort ANU!” Saya menyebutkan nama penginapan yang kebetulan berlokasi persis di sebelah kosan.
“Iya, itu.”
“AH TIDAK! JANGAN TERUSKAN!”
“Jadi pernah ya,” Ia tetap nyerocos,”Tamu-tamu penginapan dibuat geger sama makhluk ½ monyet yang ganggu-ganggu di kamar mandi outdoor. Setelah diusir, eh kabur ke atap kosan sebelah.”
“...1/2 monyet? ½ nya lagi apa?”
“Gak jelas. Pokoknya ngeri.”
“..... oke. Ada lagi?”
“Pokoknya kalau kamu keluar rumah tengah malem, jangan tepat pukul 12 malam. Tunggu lah sampai lewat 10 menit. Terus kalau lihat seekor anjing hitam, bertubuh panjang, dengan kepala yang besarnya tidak proporsional, kamu lebih baik bilang permisi.”
“Hah, apa gak mending langsung ngibrit aja?”
“Yah, kalau sampai kalian bertatap mata, lebih baik bilang permisi. Takutnya nanti kamu demam tinggi.”
Alhasil gara-gara amanat ini, setiap kali saya jalan malam lihat anjing hitam dalam kegelapan—apa pun bentuknya, saya sempet-sempetin bilang permisi.
Selama ini di kosan Sayan belum nemu sesuatu yang aneh-aneh banget. Kalau agak-agak aneh sih, pernah suatu malam, saya lagi ngobrol di kamar dengan teman yang baru datang dari ibu kota. Pintu saya biarkan terbuka biar ruangan tersambangi angin segar.
Ternyata yang menyambang tak hanya angin, tapi juga seekor kucing totol-totol mirip harimau. Secepat kilat si kucing totol melesat ke bawah tempat tidur! Kami berdua segera menundukkan kepala, ingin menyapa si kucing. Tapi, kok, gak ada?!
Saya langsung meluncur ke dapur, gak ada juga! Cek-cek kamar mandi, hiii, kosong! Kamar saya gak gede-gede amat, semua ruangan terjamahi dengan beberapa langkah saja.
Saat saya dan si teman ibu kota masih sibuk membolak-balikkan pandangan antara bawah kasur, dapur dan kamar mandi, tau-tau si kucing totol sudah asyik mejeng di depan pintu kamar dengan mimik sombongnya, seakan menertawai kami yang lantas kebingungan.
Setelah puas bersombong ria, si kucing totol pun berjalan bak peragawati ke kebun sebelah. Oke deh, dadah.
Sejujurnya saya gemas, ingin lebih dalam menggali seribu alasan dibalik kejadian. Sama seperti larangan “Jangan berpayung di dalam ruangan!”, apa memang ada alasan lain selain terlihat bodoh?
Kemudian beberapa minggu menetap di Ubud, saya mulai menyambangi pesta kecil ala ubudian di malam temaram penuh lampion, dihiasi gelak canda, camilan, musik berdentam dan minuman pusing.
Sesaat setelah bubar, salah seorang teman pesta terjatuh dari motor di area Campuhan. Lukanya parah. Wajahnya berdarah-darah. Alhasil dari tengah malam sampai subuh kami berkumpul di sebuah ruangan mencekam Rumah Sakit, terhiasi jeritan kesakitan saat penjahitan. Sayangnya obat bius tak begitu mempan, terkalahkan efek minuman pusing.
Sehari setelah kecelakaan, si teman yang celaka berceloteh bahwa ia beberapa kali telah terjatuh di lokasi yang sama. Mendengar itu, seorang teman lain yang kebetulan warga asli Bali segera membuat banten (sesajian) berupa sepasang tumpeng, sebutir telur dan pengeplugan berbentuk tapak dara. Tentu saya bertanya, “Buat apa?”
“Ya, kalau di sini kan kami percaya dengan dunia sekala (nyata) dan juga niskala (tak nyata), juga keseimbangan di antaranya, agar damai antara bhuana agung (makrokosmos) melalui bhuana alit (mikrokosmos). Karena itu pas seseorang mengalami kecelakaan, apalagi sampai berulang kali di tempat yang sama, perlu diadakan upacara ngulapin. Ngulapin ini untuk membersihkan dunia batin dari negatif seperti rasa trauma setelah kecelakaan.”
Saya mengangguk-angguk dengan pandangan yang masih ingin banyak penjelasan.
“Ngulapin berfungsi untuk mengembalikan keutuhan vayu manusia. Dalam sanskerta, vayu itu prana; energi. Sebagai energi, vayu ini sangat penting, menjadi penggerak kehidupan kita. Jadi saat kita kecelakaan, misalnya, vayu bisa terlepas. Nah, upacara ngulapin akan mengembalikan vayu ini.”
Lalu ia menjelaskan, upacara ngulapin akan dilakukan di lokasi kecelakaan untuk memanggil bagian roh yang tertinggal di sana, agar teman saya tidak 'terpanggil kembali; saat melewati lokasi tersebut, dan bisa kembali tentram melanjutkan hidup pasca kecelakaan.
“Mungkin kamu pernah melihat orang yang pasca kecelakaan jadi banyak ngelamun atau gamang? Jadi inti ngulapin ini untuk menyeimbangkan jiwa agar benar-benar pulih dari trauma berkepanjangan. ”
Waduh, upacara ngulapin ini bisa buat patah hati juga gak ya, biar gak keingetan terus? Iya, maaf.
“Ngulapin ini juga dilakukan buat yang meninggal di tempat saat kecelakaan, agar roh yang bersangkutan bisa kembali ke alam sunya, gak kejebak di sana. Sekali lagi, ini kepercayaan kami. Kami gak maksa orang lain buat melakukan atau mempercayai hal yang sama.”
Ah, terima kasih. Kepercayaan bisa berbeda-beda, tapi kehangatan antar manusia selalu terasa nyaman.
Membayangkan celaka di pulau orang, lalu mendapatkan bantuan dan doa sedemikian rupa dari warga sekitar, siapa yang ingin ingkar?
Sebagai pendatang yang ikut membuat Ubud tambah ramai, saya tak ingin mencemari rasa damai. Memang ada yang tak perlu diekori, tapi saya ingin lebih memahami, agar tak sekadar menghormati.
Masih ada semilyar teka-teki yang ingin saya kuak, maka izinkan menyudahi sejenak tulisan ini, mari berkelana kembali!
APA, seenaknya saja menghakimi!
Eits, tapi pas 2012, saya melakukannya sih; kabur dari kerusuhan emosi. Berawal dari cuma dua minggu, disusul berjuta rindu.
Akibat penasaran, apakah saya secinta itu sama Ubud atau hanya sebatas pelarian, pada Agustus 2014 akhirnya nekat hijrah dengan membawa bekal delapan potong kaus dan empat celana dalam. Coba dulu deh, ngekos sebulan saja, pikir saya saat itu.
Eh, ternyata lanjut!
Masuk bulan kedua, wah beli papan jemuran.
Bulan ketiga, oops beli perabotan.
Bulan keempat, waduh pasang tv kabel! Ini merupakan komitmen yang sungguh serius!
Akhirnya memasuki bulan delapan, saya baru berani menulis postingan tentang hal ini. Hal yang perlu dibaca perlahan tengah malam. HIHIHI!
Oh iya, tapi kenapa milih kabur ke Ubud? Ya, abis hidup di London mahal banget. Itu jawaban versi menyebalkan, walau ¼ nya benar. Tapi sungguh senangnya, di sini beberapa kali bermain bersama dan mendengarkan kisah orang dari berbagai negara, membuat saya merasa sudah keliling dunia tanpa harus keluar pulau.
Lalu, apa gak bosen tinggal di Ubud? Ah, di manapun saya tinggal, pasti akan ada bosannya. Jadi tinggal milih, mau bosan di mana?
Memang ada beberapa pekerjaan ala ibukota yang tidak lagi bisa saya raih di desa, tapi banyak kenyamanan ala desa yang tidak saya rasakan di kota.
Lagian, kalau berdisko mewah—mepet sawah sih, masih bisa kok.
Tidak banyak yang tahu, kalau kehidupan saya di Ubud pun mendadak glamor—gerak langkah tergantung motor. Seminggu pertama sih, nekat pakai sepeda. Tapi setelah mengelilingi Ubud dari Sayan-Tebongkang-Nyuh Kuning-Monkey Forest, sesampainya di supermarket Bintang malah minta jemput sopir karena mata bergelimang kunang-kunang.
Tapi ternyata tak semua sopir mau sertamerta mengantar saya!
Kisah tragis ini bermula saat saya mengenali Ubud lebih dekat, dengan cara jogging. Iya, gara-gara jalan ganteng—tengok kiri kanan, jadi bisa tahu berbagai lokasi warung enak atau sekadar rute tukang roti keliling.
Sampai suatu sore, saya kebablasan jalan kaki, tiba-tiba saja sudah malam di Penestanan. Buat yang di Bandung, bayangkan Cigadung untuk membayangkan area ini. Untuk yang di Jakarta, boleh inget-inget Jagakarsa. Untuk yang lain, lihat saja video yang saya ambil sambil naik motor ini.
Saking gelap gulitanya jalanan, sinar ponsel dan senter powerbank tidak membantu. Satu-satunya cahaya datang dari lampu kendaraan, yang sayangnya terlalu cepat untuk diikuti. Tampaknya mereka pun terburu-buru melewati jalanan berkelok-nanjak ini.
Untunglah ada seorang bapak-bapak yang sedang asyik nangkring di bale-bale.
“Pak, maaf nih, boleh minta antar melewati kelokan depan gak, abis gelap banget,” pinta saya tersipu malu.
“Waduh, lewat kuburan itu ya?” Kelopak matanya melebar.
“Iya, Pak.” JUSTRU ITU ALASAN UTAMANYA. “Saya agak... takut.” Saya makin cengengesan.
“Iya, saya juga,” eh si Bapak cengengesan balik!
“Lah, bapak bukannya warga sini?”
“Iya, tapi tetap kalau gelap sih, seram.” Akhirnya ia mau mengantarkan saya, tapi melewati rute lain yang gak kalah seramnya. Kala melewati jembatan, pohon beringin, dan segenap area yang bikin bulu kuduk berdiri, ia selalu membunyikan klakson sebagai permohonan izin untuk segenap makhluk lain yang mendiami daerah itu, “Biar mereka tahu kita akan lewat. Kan kalau ketabrak gak cuma mereka yang sakit, kita juga bisa celaka.”
Diam-diam, saya menerka-nerka bagaimana bentuk 'mereka'.
Sampai beberapa hari kemudian ada beberapa teman yang membocorkan salah satu rupanya. Biasanya dimulai dengan percakapan, “Kamu di Ubudnya tinggal di mana?”
“Sayan.”
“Ooh, itu sih bukan Ubud.”
“Iya kan deket-deketan lah.” Saya sering lupa, kalau Ubud itu kecamatan—bukan kota atau desa, terletak di kabupaten Gianyar. Barangkali ibarat ke Jakarta, lagi di Pasar Minggu pun bilangnya Pancoran. Atau sudah tahu mantan masih anggap pacaran. Maaf ya.
“Oh ya, di Sayan itu masih banyak orang cari ilmu. Dulu pernah subuh subuh, ada kejadian suara gaduh di kos-kosan yang lokasinya tepat di sebelah sebuah resort.”
“Jangan bilang resort ANU!” Saya menyebutkan nama penginapan yang kebetulan berlokasi persis di sebelah kosan.
“Iya, itu.”
“AH TIDAK! JANGAN TERUSKAN!”
“Jadi pernah ya,” Ia tetap nyerocos,”Tamu-tamu penginapan dibuat geger sama makhluk ½ monyet yang ganggu-ganggu di kamar mandi outdoor. Setelah diusir, eh kabur ke atap kosan sebelah.”
“...1/2 monyet? ½ nya lagi apa?”
“Gak jelas. Pokoknya ngeri.”
“..... oke. Ada lagi?”
“Pokoknya kalau kamu keluar rumah tengah malem, jangan tepat pukul 12 malam. Tunggu lah sampai lewat 10 menit. Terus kalau lihat seekor anjing hitam, bertubuh panjang, dengan kepala yang besarnya tidak proporsional, kamu lebih baik bilang permisi.”
“Hah, apa gak mending langsung ngibrit aja?”
“Yah, kalau sampai kalian bertatap mata, lebih baik bilang permisi. Takutnya nanti kamu demam tinggi.”
Alhasil gara-gara amanat ini, setiap kali saya jalan malam lihat anjing hitam dalam kegelapan—apa pun bentuknya, saya sempet-sempetin bilang permisi.
Selama ini di kosan Sayan belum nemu sesuatu yang aneh-aneh banget. Kalau agak-agak aneh sih, pernah suatu malam, saya lagi ngobrol di kamar dengan teman yang baru datang dari ibu kota. Pintu saya biarkan terbuka biar ruangan tersambangi angin segar.
Ternyata yang menyambang tak hanya angin, tapi juga seekor kucing totol-totol mirip harimau. Secepat kilat si kucing totol melesat ke bawah tempat tidur! Kami berdua segera menundukkan kepala, ingin menyapa si kucing. Tapi, kok, gak ada?!
Saya langsung meluncur ke dapur, gak ada juga! Cek-cek kamar mandi, hiii, kosong! Kamar saya gak gede-gede amat, semua ruangan terjamahi dengan beberapa langkah saja.
Saat saya dan si teman ibu kota masih sibuk membolak-balikkan pandangan antara bawah kasur, dapur dan kamar mandi, tau-tau si kucing totol sudah asyik mejeng di depan pintu kamar dengan mimik sombongnya, seakan menertawai kami yang lantas kebingungan.
Setelah puas bersombong ria, si kucing totol pun berjalan bak peragawati ke kebun sebelah. Oke deh, dadah.
Sejujurnya saya gemas, ingin lebih dalam menggali seribu alasan dibalik kejadian. Sama seperti larangan “Jangan berpayung di dalam ruangan!”, apa memang ada alasan lain selain terlihat bodoh?
Kemudian beberapa minggu menetap di Ubud, saya mulai menyambangi pesta kecil ala ubudian di malam temaram penuh lampion, dihiasi gelak canda, camilan, musik berdentam dan minuman pusing.
Sesaat setelah bubar, salah seorang teman pesta terjatuh dari motor di area Campuhan. Lukanya parah. Wajahnya berdarah-darah. Alhasil dari tengah malam sampai subuh kami berkumpul di sebuah ruangan mencekam Rumah Sakit, terhiasi jeritan kesakitan saat penjahitan. Sayangnya obat bius tak begitu mempan, terkalahkan efek minuman pusing.
Sehari setelah kecelakaan, si teman yang celaka berceloteh bahwa ia beberapa kali telah terjatuh di lokasi yang sama. Mendengar itu, seorang teman lain yang kebetulan warga asli Bali segera membuat banten (sesajian) berupa sepasang tumpeng, sebutir telur dan pengeplugan berbentuk tapak dara. Tentu saya bertanya, “Buat apa?”
“Ya, kalau di sini kan kami percaya dengan dunia sekala (nyata) dan juga niskala (tak nyata), juga keseimbangan di antaranya, agar damai antara bhuana agung (makrokosmos) melalui bhuana alit (mikrokosmos). Karena itu pas seseorang mengalami kecelakaan, apalagi sampai berulang kali di tempat yang sama, perlu diadakan upacara ngulapin. Ngulapin ini untuk membersihkan dunia batin dari negatif seperti rasa trauma setelah kecelakaan.”
Saya mengangguk-angguk dengan pandangan yang masih ingin banyak penjelasan.
“Ngulapin berfungsi untuk mengembalikan keutuhan vayu manusia. Dalam sanskerta, vayu itu prana; energi. Sebagai energi, vayu ini sangat penting, menjadi penggerak kehidupan kita. Jadi saat kita kecelakaan, misalnya, vayu bisa terlepas. Nah, upacara ngulapin akan mengembalikan vayu ini.”
Lalu ia menjelaskan, upacara ngulapin akan dilakukan di lokasi kecelakaan untuk memanggil bagian roh yang tertinggal di sana, agar teman saya tidak 'terpanggil kembali; saat melewati lokasi tersebut, dan bisa kembali tentram melanjutkan hidup pasca kecelakaan.
“Mungkin kamu pernah melihat orang yang pasca kecelakaan jadi banyak ngelamun atau gamang? Jadi inti ngulapin ini untuk menyeimbangkan jiwa agar benar-benar pulih dari trauma berkepanjangan. ”
Waduh, upacara ngulapin ini bisa buat patah hati juga gak ya, biar gak keingetan terus? Iya, maaf.
“Ngulapin ini juga dilakukan buat yang meninggal di tempat saat kecelakaan, agar roh yang bersangkutan bisa kembali ke alam sunya, gak kejebak di sana. Sekali lagi, ini kepercayaan kami. Kami gak maksa orang lain buat melakukan atau mempercayai hal yang sama.”
Ah, terima kasih. Kepercayaan bisa berbeda-beda, tapi kehangatan antar manusia selalu terasa nyaman.
Membayangkan celaka di pulau orang, lalu mendapatkan bantuan dan doa sedemikian rupa dari warga sekitar, siapa yang ingin ingkar?
Sebagai pendatang yang ikut membuat Ubud tambah ramai, saya tak ingin mencemari rasa damai. Memang ada yang tak perlu diekori, tapi saya ingin lebih memahami, agar tak sekadar menghormati.
Masih ada semilyar teka-teki yang ingin saya kuak, maka izinkan menyudahi sejenak tulisan ini, mari berkelana kembali!
Baru baca postingan ini dan dalam sekejap saya merindukan Ubud.. Oke Fine!! bulan depan cuti buat Liburan dan ngopi lagi di Pinggir sawah Ubud
ReplyDeletekakak saya juga tinggal di Bali, di Denpasar lebih tepatnya, dia pernah cerita liat seekor monyet lagi duduk sambil ngeliatin bulan purnama, duduknya gaya manusia gitu dan dia pernah beberapa kali liat 'tarung leak' pas tengah malam :| Bali emg mistik but i love Bali as well
ReplyDeletesemoga bisa kyak kak Vibi tinggal disana juga :D