Search This Blog

Sunday, July 03, 2016

Kisah Mudik dari Bandara Istanbul Atatürk

Saya harusnya lebih mendengarkan ibu. Insting seorang ibu tidak pernah meleset. Kekhawatirannya seringkali jadi pertanda apa yang akan saya hadapi.

Yang masih tajam dalam ingatan, selepas libur lebaran tahun lalu, sebelum saya balik ke Ubud, Ibu melepas saya dengan tangis deras.

 “Ah, Ibu, kayak gak pernah lihat saya pergi aja. Ini kan cuma ke Ubud, gampang lah bolak-balik,” timpal saya pongah.

 “Ibu mah selalu sedih atuh kalau anaknya pergi,” Ibu saya masih terisak-isak saat saya ke luar pagar. Ibu merasa sangat berat dengan kepergian saya saat itu.

Sebulan kemudian, saya terserang stroke di Ubud. 'Gampang lah bolak-balik' itu cuma wacana saja. 
Setelah hampir setahun recovery, saya diboyong sahabat, Kevin & Dini—pasangan yang juga ikut merawat saya di Ubud, ke kota Arnhem.

Mereka akan melangsungkan pernikahan di sebuah taman di sana. Kevin juga mengadakan lokakarya yang menaungi banyak seniman bertalenta dan berhati asyik bareng anak-anak ruangrupa bertajuk transACTION di taman Sonsbeek. Saya merasa punya keluarga dan teman-teman baru. 

Saat saya di Arnhem, Ibu sering khawatir dengan satu hal, “Kalau kamu teh nanti masih mau pulang lewat Istanbul?”

Jadi, saya terbang pakai Turkish Airlines, pulang dan pergi akan transit di Istanbul. Sehari sebelum terbang, pusat kota Istanbul terkena bom bunuh diri. Tentu saja Ibu khawatir.

“Masih, Bu. Lagian kemarin kan pas pergi transit sempet keliling Istanbul. Aman-aman saja, kok!” Turkish Airlines memang memberikan fasilitas tur Istanbul gratis buat yang transit >8 jam, dan itu jadi dalih buat menenangkan hati Ibu.

Tapi Ibu tetap bertanya-tanya, menginginkan saya pindah pesawat. Tidak saya gubris, semua kan baik-baik saja.

Sampai malam terakhir di Arnhem, saat kami baru saja akan beranjak tidur, Dini berteriak, “Bandara Istanbul (Ataturk) di bom!”

Hah, lagi? Kemarin pas pergi, kotanya dibom. Sekarang pas pulang, bandaranya yang kena bom! Ledakan kali ini lebih brutal, dilakukan oleh tiga orang. Sebelum meledakkan diri, mereka melepas tembakan ke sana kemari.

Tidur pun diundur. Antara masih berharap hoax dan berharap ibu belum baca berita, saya bolak-balik memastikan status penerbangan saya esok malam di situs Turkish Airlines.

Berita pun simpang siur, antara bandara akan ditutup sampai 8AM atau 8PM. Lewat situs Turkish Airlines, mereka menawari refund atau rebooking tiket pesawat selama periode penerbangan 28 Juni dan 5 Juli 2016.

Tapi saya tetap bersikeras walau hati waswas.

Keesokannya, Rabu siang, saya beranjak ke bandara Schiphol lebih awal. Saat check-in, petugas memastikan bandara Ataturk sudah beroperasi seperti biasa. Waw, hebat juga, mengingat bandara Brussels saja sempet tutup dua minggu pas kena bom.

Hanya saja, dalam boarding pass Istanbul-Jakarta saya, tidak tertera nomor kursi, hanya rentetetan huruf SBY alias stand by. Ah, gak masalah. Saya pernah dapet tiket stand by. Biasanya sang petugas di boarding room langsung ngasih nomor kursi, kok. Dan biasanya dengan boarding pass 'SBY' ini, kalau ada kursi kosong di jadwal pesawat sebelumnya, kita bisa terbang lebih awal.


Pesawat Amsterdam-Istanbul sempat menunda take off satu jam, sang pilot mengumumkan ada 'gangguan teknis'. Beberapa penumpang waswas—termasuk saya, bolak-balik memeriksa waktu boarding di penerbangan selanjutnya. Mepet-mepet tegang!

Begitu kami mendarat di bandara Ataturk, kekisruhan mulai rusuh!
Beberapa orang berlarian di sepanjang koridor, bikin hati makin blingsatan. Semoga tidak ada bom susulan. Mereka berseliweran lari di antara para penumpang yang bergelimpangan tidur di lantai. 

Saat masuk ke gate yang ditentukan, rupanya pesawat selanjutnya sudah boarding. Mereka meminta kepada penumpang yang standby untuk bersabar menunggu giliran setelah seluruh penumpang bernomor masuk.

Tapi setelah mereka semua berada dalam pesawat, sang petugas menutup pintu boarding.

“Hey, kami belum masuk!” Protes salah satu penumpang. Sang petugas sibuk utak-atik komputer dan bolak-balik menyusun potongan boarding pass penumpang yang telah masuk pesawat.

“Maaf sekali, pesawat telah penuh.” Seketika suasana gate riuh dengan teriakan panik.

“Kenapa bisa penuh?” Tanya saya. Kok berasa naik angkot saja, sih?

“Saya juga bingung. Maaf saya cuma petugas boarding,” kata salah seorang petugas dengan muka memelas. Ia sibuk menelepon—semoga sedang menghubungi orang yang tidak bingung.

“Saya kemarin sudah ditolak boarding! Masa ditolak lagi?!” Timpal seorang penumpang yang pesawatnya dibatalkan terbang. Jadi jadwal terbang dia bertepatan saat bandara dibom. Kemudian tiketnya pun diganti untuk penerbangan selanjutnya, dengan posisi 'SBY'. “Temen-temen rombongan saya dikasih nomor, saya aja yang dikasih standby.”

Oalah. Pengetahuan saya tentang 'SBY' ternyata minim sekali. Jadi para penumpang yang pesawatnya batal terbang, mereka dialihkan ke pesawat berikutnya. Atau pesawat setelahnya. Keadaan ini pun berimbas ke penumpang pesawat yang dialihkan itu.

Jadi, alih-alih dapet penerbangan yang lebih awal, tapi 'SBY' ini ibarat tiket cadangan atau lotre, tidak peduli udah beli jauh-jauh hari ataupun check in online.

Sayangnya, para petugas bandara pun tidak begitu siap dengan keadaan genting ini. Tapi, ya siapa juga yang siap ketika tempat kerjamu terkena bom ya?

Melihat mereka yang kebingungan, ada baiknya bila bandara ini tidak memaksakan beroperasi. Penumpang marah, petugas lelah. Kami bersatupadu dengan kebingungan.

Ada salah satu penumpang wanita menangis, karena ayahnya sudah berada di dalam pesawat. “Izinkan saya masuk pesawat. Ayah saya baru terkena stroke, saya pegang obatnya. Tolonglah saya,” Ia meraung-raung. Sang petugaspun tidak bisa berbuat apa-apa. Saat pesawat bersiap-siap take off, wanita itu menangis sambil gedor-gedor kaca memanggil-manggil ayahnya. Mata ini becek sekali melihat wanita itu. Juga melihat pesawat yang semestinya kami tumpangi beranjak pergi. Ternyata kami benar-benar ditinggalkan. Ini bukan guyonan belaka.

Tapi suasana teralihkan menegangkan karena beberapa penumpang Turkey teriak-teriak dengan bahasa yang tidak saya mengerti. Kemudian ada petugas yang menenangkan kami, menjanjikan kompensasi.

Ia menggiring kami ke ruangan Transfer Desk, yang telah dipenuhi antrian yang mengular panjaaaang.
Benar-benar. Ternyata STANDBY ini benar-benar BERDIRI LAMA banget ya.
Yang ditolak boarding bukan hanya pesawat kami. Sebagian juga terpaksa ketinggalan pesawat karena penerbangan pertama mereka delay.

Antrian berulangkali terhiasi bentakan di meja Transfer Desk menyerukan kekecewaan, juga kekekiaan antara penumpang yang menyerobot antrian.



“Kami sudah antri 4 jam, seenaknya saja kamu menyerobot kami!” Bentak seorang bapak ke seorang penyerobot yang nyelonong ke meja.
“Saya semalam juga sudah antri 6 jam! Saya tidak mau lagi antri malam ini!” Gertak sang penyerobot.

Waduh. Berarti ada kemungkinan solusi ini bukan tahap akhir. Beberapa teriakan di meja seakan mengikis harapan kami.
Seperti, “Mengapa saya tidak bisa refund?”
“Saya sudah antri selama ini masih dapet tiket standby?”
Jawaban petugas pun ada saja yang antipati, “Anda baru antri 6 jam, itu yang di sana (menunjuk serombongan manusia yang tertidur di lantai) sudah menunggu 2 hari!”



Kami mengantri dari tengah malam sampai matahari terbit.
Pukul delapan pagi, giliran saya tiba di meja. Di meja sebelah, seorang petugas memarahi seorang mahasiswa Indonesia, “Anda harusnya bayar penalti, karena anda ketinggalan pesawat!”
“Ketinggalan pesawat?! Tanya saja petugas yang membawa kami ke sini! Kami ditolak boarding!” Balas sang mahasiswa, diiyakan saya.

Waduh kok makin pagi makin kacau. Alhasil sebelum ditekan petugas, saya duluan menekan mereka. “Tolong carikan penerbangan di mana saya bisa dapat nomor kursi. Bukan stand by.”

Akhirnya saya kebagian pesawat dengan nomor kursi. “Anda bisa meyakinkan saya gak, kalau saya bisa terbang dengan pesawat ini?”
“Saya tidak bisa berjanji. Tapi selama tidak batal terbang, anda bisa masuk pesawat.”

Ah, seandainya waktu mendarat connnecting flight tidak mepet, saya mestinya bisa mengurus si nomor kursi di Transfer Desk sebelum boarding ya. Itu pun dengan catatan kalau antriannya tidak sedahsyat ini. Barangkali solusi terbaik kalau bandara terkena bom, langsung refund, re-route, re-booking, atau cari pilihan re re lainnya!

Pesawat baru saya dijadwalkan terbang pukul 2 pagi, 19 jam lagi. Untuk mendapatkan fasilitas hotel dan makanan, saya dipersilakan untuk kembali antri ke Hotel Desk. Untuk menuju Hotel Desk, saya harus menuju Passport Control, area yang terkena ledakan bom itu. Untuk melewati Passport Control saya harus punya e-visa. Gampang kok ngurusnya. Tapi masa saya harus bayar visa lagi? Untuk mendapatkan visa gratis, saya harus antri lagi di sebuah counter.

Akhirnya yang saya lakukan adalah meminum Xanax dan bobo di gate. Saya memilih sebuah gate yang sepi.



Tapi rupanya ada alasan kenapa gate itu sepi penidur. Karena setiap beberapa jam, petugas membangunkan saya untuk security check. Di antara bangun itu, teringat sesuatu; hampir saja lupa memberi kabar ibu! Memberi kabar kalau saya terlambat pulang dan insting ibu selalu jitu!

Sayangnya bandara ataturk kurang wifi-friendly; gak bisa sekali tersambung langsung bersenandung. Yang paling 'mudah' itu, kami harus menggentayangi wifi di area restoran, lalu memindai boarding pass yang harus diulang setiap dua jam untuk mendapatkan nomor pin untuk akses internet. Yang penting, ibu sudah saya kabari. Lalu tidur lagi. 


***



Pukul 1 pagi. Saya lupa ini hari apa. Kamis? Jum'at?

Boarding gate pesawat saya telah dibuka. Kami jadi terbang gak, sih? Kami boleh masuk pesawat, kan? 

Baru kali ini saya kena imbas langsung kasus bom. Rasanya lebih enak sibuk takut atau sok berani di media sosial ketimbang hilir mudik panik di area yang baru diledakkan.

Kami bergembira sekali saat boleh masuk pesawat—bergegap gempita saat pesawat take off—bersorak sorai saat pesawat landing—tersenyum semringah saat melihat langit sore Jakarta.

Beberapa saat setelah mendarat, gerombolan pelajar bertepuk tangan sambil berpelukan. “Ini mudik yang tak akan terlupakan!”

Dan ah, Jakarta belum pernah semenenangkan ini!



Semoga para keluarga korban dan para petugas bandara dikuatkan, para penumpang yang masih terdampar segera bisa terbang ke tujuan masing-masing.
Semoga Turkey akan segera membaik!

7 comments:

  1. Kalau nanti ada kesempatan ke Eropa lagi, apakah Turkish Airlines masih masuk pertimbangan?

    ReplyDelete
  2. Puji Tuhan ya, Kang Vabyo! :)

    Tuhan sungguh baik ya, Kang Vabyo.

    Ada lirik lagu 'di doa ibuku, namaku disebut. Di doa ibu ku dengar ada namaku disebut.'

    Senang bisa membaca tulisanmu lagi, Kang Vabyo.

    God Bless you always, Kang Vabyo! :)

    ReplyDelete
  3. Semoga bapak yang sakit dan putrinya tadi segera ketemu dan mereka baik-baik aja. Hatiku sakit ngebayanginnya..

    Selamat datang ke rumah, Buhp!

    ReplyDelete
  4. Mas Vabyo, what a story.

    Benar benar mudik terlupakan. Tahun depan sudah harus mulai dengar nasehat ibu kalau mau travel menjelang lebaran.

    ReplyDelete
  5. Semoga teror bom di Turki beneran bisa segera selesai ya. Gak kebayang itu kisruhnya kaya apaan, serem ah...
    Welcome to Jakarta mas, welcome home...! :)

    ReplyDelete
  6. Suka banget ceritanya, kak Vabyo. I do really miss your writing on your blog :|

    ReplyDelete
  7. Turut memgaminkan doa2 kang vabyo di atas.
    Senang dikau bisa pulang dengan selamat

    ReplyDelete

Bebas komentar apa saja, asal damai. Terima kasih banyak :*