Beberapa minggu lalu, setelah mandi
pagi dan asyik ngaca-ngaca sendiri, saya memutuskan mau pasang kawat
gigi.
Habis, seiring dengan usia yang kian
melaju, gingsul ini gak ada yang pernah muji-muji lagi kalau saya
tersenyum lucu.
Setelah foto panoramik dan
cephalometrik di laboratorium, saya pun memamerkan rontgen rahang
gigi saya itu ke dokter gigi.
Sang dokter menunjukkan beberapa gigi
yang retak tinggal akar, atau terbelah dua bagai hati yang terkoyak.
“Kita terpaksa ambil yang sudah rusak
ini ya? Kita rapikan jejeran atas dulu.” Kata sang dokter sambil
mencuci tangan.
“Cabut berapa gigi, Dok?” Tanya
saya sok tenang sambil berbaring-baring sok keren kayak anak pantai.
“Lima.”
“LIMA?! SEKALIGUS SEMUANYA SAAT INI
JUGA?!” Persetan dengan sok keren. Ini benar-benar mengejutkan!
“Tenang, saya udah pernah cabut
sekaligus 30 gigi.”
Setelah tusuk sana tusuk sini, lalu
gusi terasa kebal, entah perangkat apa saja yang dokter masukkan ke
dalam mulut ini. Ruang rahang mendadak riuh, dan semakin meriah
dengan beberapa gigi mendadak pecah saat ditarik dokter dengan tang.
Ada perayaan tahun baru di dalam sana!
Tapi syukurlah, kurang lebih satu jam,
semua gigi bermasalah kini tereliminasi dan berjejer rapi di
sebelah keran air kumur. Sempat terpikir untuk merangkai gigi-geligi
itu untuk menjadi kalung pengingat kehidupan.
“Anda beruntung dateng ke saya dalam
keadaan sehat. Gigi yang rusak ini bisa jadi sarana masuk kuman ke
aliran darah, terus ngerusak organ-organ penting.”
Saya hanya mengangguk-angguk lemas,
dengan buntelan kapas yang memenuhi mulut. Sesekali terisap darah
segar yang mengaliri tenggorakan. Sedap juga. Pantes sekarang
banyak film drakula.
“Setelah obat-obat ini selesai, anda
datang lagi ya, kita bereskan barisan bawah. Cuma satu kok, yang akan
saya ambil.” Dokter itu menunjuk foto di bagian gigi geraham yang
dikelilingi gusi hitam. Gigi itu tampak melayang—dikelilingi ruang
kosong.
Gigi geraham itu memang pernah sakit
dan bengkak sekitar lima tahun lalu. Kalau boleh memberikan pembelaan
kenapa sampai dibiarkan begitu lama, waktu gigi sakit, saya sedang
bekerja di Saudi, dan terlalu waswas untuk ke dokter gigi di sana.
Akhirnya saya redam sakit dengan berbagai painkiller, hingga
akhirnya sakit itu hilang. Eh, ternyata masih sayang.
***
Seminggu kemudian, saya memenuhi janji
untuk bertandang. Ada perasaan jumawa karena saya telah berhasil
melewati pencabutan 5 gigi tanpa sakit. Satu doang mah, cingcay lah
ya!
Prosedur awal pun dimulai; tusuk sana
tusuk sini.
Loh, kok sakit ya? Biasanya ketika
dibius, gusi hanya terasa digigit-gigit cantik saja. Ini kok, berasa
lagi disilet-silet.
“Gusinya biru banget,” komentar
Dokter sambil bolak balik ngambil suntikan. “Perlu yang khusus nih,
sebentar ya.”
Saya sibuk menerka-nerka, apa maksud
beliau 'perlu yang khusus', karena dia tampak lebih khusyu mencampur
ini itu, dengan mimik wajah yang lebih relijius.
Saat gigi mulai terangkat, saya lantas
berteriak.
“Ok oa iyu-a o-a – ea-aa,”
maksud saya: Dok, obat biusnya kok gak kerasa?!
Sungguh, saya bisa merasakan gusi
sekitar gigi tersayat dan terlepas paksa dari lapisan gigi. Rasanya
sejuta kali lipat lebih perih dari salonpas yang tercerabut paksa
dari dada yang penuh bulu. Dan tanpa bermaksud menambah efek
dramatis, saya dapat merasakan lelehan darah yang mengaliri dagu.
Horor. Sayangnya gak bisa foto, kan lumayan keren buat pajang di
instagram.
“Tenang-tenang, ini gak akan sakit,
kok, sebentar lagi, kok.” Dokter tersenyum berusaha menenangkan.
Sayangnya senyum itu hilang dari pandangan seiring kelopak mata saya
yang terpejam menahan perih yang amat pedih. Rasanya seperti kumpulan
semua sakit gigi geraham lima tahun lalu menjadi satu.
“Tuh, sudah.” Dokter mengambil tisu
dan membersihkan area bibir saya.
Saya menarik napas lega. Masih terasa
nyut-nyutan, tapi yang penting gak akan diutak-atik lagi.
“Tinggal setengah gigi lagi.”
“AAAK?!” SETENGAH GIGI LAGI?
Lalu datanglah pengumuman yang sungguh
menghentak jiwa.
“Sebagian gigi anda ini tertutup
daging jadi.”
Heuh? Daging jadi?
Iya, singkat cerita, dokter mengkonfirmasi daging itu sebagai tumor jinak.
Sang dokter pun menjelaskan beberapa istilah medis yang saya tidak begitu ingat. Takut salah tulis sih, tepatnya. Berhubung saya bukan dokter dan khawatir ngasih info keliru.
(Tambahan: beberapa info dari teman-teman via twitter baik yang dokter beneran atau mendadak dokter ini mungkin juga adalah polip, granuloma, atau malah kiriman Nyi Loro Blorong dari gorong gorong. Saya pribadi sih, masih berharap itu cuma daging sapi sisa semalam)
Sang dokter pun menjelaskan beberapa istilah medis yang saya tidak begitu ingat. Takut salah tulis sih, tepatnya. Berhubung saya bukan dokter dan khawatir ngasih info keliru.
(Tambahan: beberapa info dari teman-teman via twitter baik yang dokter beneran atau mendadak dokter ini mungkin juga adalah polip, granuloma, atau malah kiriman Nyi Loro Blorong dari gorong gorong. Saya pribadi sih, masih berharap itu cuma daging sapi sisa semalam)
Tapi alhamdulillah, malam mencekam
penuh dengan rintihan perih dan lelehan darah tanpa henti itu telah
saya lewati. Ruang mulut pun kini terasa lebih segar dan luas, haha! Saya juga bersyukur, ekstra daging itu bisa terdeteksi
dini tanpa sengaja. Judulnya: pura-pura tenang, shock belakangan.
Genderang pengingat kembali
ditabuh, ada pesan tubuh yang sering saya campakkan. Padahal badan ini kerap ngasih sinyal kalo ada pendatang tak diundang, salah satunya
sakit gigi.
Untungnya saya masih bisa senyum,
biarpun kini dengan gusi bolong, menyerupai permukaan semangka yang
tercungkil sendok. Tapi masih mending, ketimbang dibiarkan dan harus
potong rahang. (Begitu kata dokter, bila ini tumor ganas yang sudah menjalar buas)
Sembari berdoa semoga gak ada daging
sisa atau daging susulan, moga-moga saya, kamu, dan semua orang yang
kita sayangi bisa lebih jeli lagi mendengarkan dan merasakan
sinyal-sinyal dari tubuh ya.
Yah, seenggaknya kalo ada sakit gigi,
gak ditunda-tunda sampai 5 tahun lah ya.
Karena cinta boleh tanpa kepastian,
kesehatan sih jangan.
Sekian dan sehat selalu!
Kang mudah mudahan jadi peluruh dosa ya, sehat teruss!
ReplyDeletekok metal banget sih dokternya, tumor jinak gitu baru dibilangin setelah diangkat :))
ReplyDeletemungkin karena dianggap ga berbahaya kali ya, tapi tetep aja kalau saya pasti denger kata 'tumor' agak mencelos dikit.
semoga giginya cepet rapih :D