April
2013
Dartmouth
Rd, London
Ada yang meniup-niup kelopak mataku dengan buasnya, sampai-sampai aku terbangun. Kirain setan, ternyata aku lupa merapatkan jendela kamar sebelum tidur, bahkan laptop pun masih menyala.
Alih-alih
menutup, kubiarkan jendela terbuka lebar, menyambut semilir
angin sejuk di penghujung musim semi.
Setelah
menggeliat kiri-kanan, kuambil laptop, menuju ke lantai bawah, ke
ruang makan demi sarapan.
Ternyata
di sana sudah ada Mas Khanif, pengurus Wisma Siswa
Merdeka—tempatku menginap saat ini.
“Pagi
Mas Valiant, oh ya, jadi mau extend gak? Saya sudah cek ke KBRI, bisa
kok.” Mas Khanif menghadang pagiku dengan kabar gembira. Aku memang
berniat untuk tinggal seminggu—dan mungkin sebulan—bahkan
terpikir untuk bekerja di London—lebih lama, yang hore ternyata
bisa!
“Wah,
jadi! Terima kasih banyak!” Aku semringah sekali, sampai-sampai
selai cokelat yang kuoleskan pada roti menjadi supertebal. Bahagia
dan tamak ternyata sepupuan. Aku kemudian mengirimkan draft e-mail
untuk perubahan tanggal tiket pesawat.
Sebenarnya
aku agak waswas dengan keputusanku ini, mengingat ayah yang sudah 8
bulan ini sakit akibat terserang stroke. Tapi ia sudah jauh membaik
dan lagian di minggu-minggu pertama ia terjatuh aku setia menemaninya.
Iya, aku sibuk menyiapkan pembelaan diri.
“Hari
ini mau jalan-jalan ke mana?” Tanya Mas Khanif sambil wara-wiri di
dapur sebelah.
“Ke
mana-mana, Mas. Saya mau pasrah ke mana pun bis membawa saya.'
Iya,
berhubung semua wilayah wajib kunjung kota telah kujelajah, akan
kubebaskan saja langkah untuk hari ini; entah ke tempat yang sama,
atau pelosok penuh rahasia.
Sekejap kemudian, dua tangkup roti, sebotol air mineral, dua buku, dan notebook kini
memenuhi isi ransel. Aku menaiki bus merah yang pertama kali muncul
di halte Walm Lane—Willesden Green, kemudian duduk di lantai dua,
dan mulai mengunyah roti sambil menikmati pemandangan kota.
**
Hasil penjelajahan
hari ini, aku menemukan pasar kaget di Church St, toko vintage di Hanbury
St, toko buku antik serba £1 di Greenwich South St, dan
berbagai bar seru di... hampir setiap jalan yang kulewati.
Sinar
angkasa mulai meredup, aku kini menunggu bus rute favoritku di
seberang Elizabeth Tower sambil menyantap Carrot Cake murah meriah
dari mini market Tesco. Mmh, aku tahu akan menikmati penghujung soreku di mana!
Bus berhenti di antara keramaian manusia berbagai warna, karena ini memang wilayah alun-alun kota yang bergelar resmi Trafalgar Square sejak tahun 1830.
Hasil mengintip
dari situs pemerintah, ternyata wilayah ini sudah dibangun sejak abad 14, sampai kemudian tahun 1812
seorang arsitek bernama John Nash ingin membangun jalan dan ruang
terbuka untuk warga menggelar seni budaya atau sekadar bertegur sapa.
Pembangunan
pun gak mentok sampai penamaan Trafalgar Square berkumandang.
Sepanjang abad 19, banyak perubahan dan penambahan yang signifikan.
Dimulai dari pembangunan National Gallery tahun 1832 yang didesain
oleh William Wilkins, disempurnakan oleh Sir Charles Barry di tahun
1838 dengan membangun patung memorial The Nelson dan dua air mancur yang menyegarkan mata dan membuat diri sekonyong-konyong ingin bugil
nyebur itu.
Lalu
seperti lagu riang di musim panas, monumen dan patung pun bermunculan. Tahun 1843 berdiri tegak monumen Nelson's Column didesain William Railton, 1845 ada
penyempurnaan air mancur, 1867 'mendadak' beberapa patung singa perunggu yang didesain
Sir Edwin Landseer pun membentengi Nelson's Column.
Manusia
hari gini pun tak kalah berkontribusi; merawat area dan membangun
berbagai fasilitas umum seperti cafe, toilet umum, dan lift khusus
kaum difabel.
Walau
tampak ramai, selalu ada bangku kosong yang bisa kukuasai sambil
tiduran atau ketak-ketik ganteng.
Sayangnya perut
mulai keroncongan dan aku mendambakan kebab hangat lezat dan saos
humus sedap di dekat pintu keluar tube station West Hampstead. Duh,
udah jauh-jauh melipir ke London, kok nyari makanannya tetep ala
timur tengah juga ya?
Sambil
menunggu bus datang di Northumberland Avenue; depan Trafalgar Square,
aku mengamati sekeliling sambil diam-diam iri dengan kebersihan dan
keteraturan yang mereka jaga.
Sampai salah satu tiang lampu jalan menarik perhatian dan langkah kakiku.
Bukan
tiangnya yang mencuri hatiku, tapi rangkaian bunga yang
tertempel padanya. Dan ternyata bukan rangkaian bunga yang
menghipnotis langkahku, tapi kata pertama yang tercetak di kartu
ucapan yang tertera padanya.
Ayah, ini hari yang berat, karena aku hanya bisa meratapi kehilangan.
Ini hari saat aku kehilanganmu.
Aku tahu, harusnya aku tidak tenggelam dalam kesedihan dan semestinya bersyukur atas betapa beruntungnya aku memilikimu sebagai ayahku.
Aku benar-benar merindukan keberadaan ayah, aku rindu mendengar segala nasihat baik, pertolonganmu, dan melihat senyummu yang menawan.
Maaf Ayah, aku tahu ayah tidak akan tenang melihatku sesedih ini.
Aku akan tersenyum untukmu, Ayah.
Aku tidak pernah akan melupakanmu!
Kaki mendadak lemas, teriringi mata panas.
Ternyata
di antara bangunan megah, patung singa kokoh, dan air mancur indah, yang membuatku lunglai adalah cukup secarik kartu terhiasi
rindu.
Sebuah
bus berhenti di depan halte, para penumpang masuk secara teratur.
Sesaat, aku
tak bergeming. Lalu kudatangi bangku sepi, siap mengirimkan surat
penggagalan pengunduran tiket dan sebait pesan sayang
untuk rumah Bandung.
No comments:
Post a Comment
Bebas komentar apa saja, asal damai. Terima kasih banyak :*