Search This Blog

Saturday, November 02, 2013

Obrolan Horor bareng Eve Shi

Bagaimana bisa yang tak terlihat bisa begitu menyakiti?
Bukan, ini bukan perkara makhluk gaib yang diam-diam mencekikmu sampai mati lemas, atau arwah penuh dendam yang mampu merobek pusarmu hingga usus terburai.

Malam itu, angin dingin berembus sadis, seperti pecahan beling mengorek sekujur pori wajah dan tanganku. Ingin rasanya membatalkan janji dan balik langkah untuk menyelimuti diri, tapi kami terlanjur bertatap mata.

“Halo, Eve Shi ya? Saya Vabyo.” Kami bersalaman. Tangannya dingin mencengkram. Semoga kedai ini menyediakan minuman hangat nan nikmat.

“Hai, Vabyo. Saya sudah memesan menu spesial buatmu: Nasi Sadako.” Ia menunjuk sepiring nasi yang terhiasi dua telur puyuh, menyerupai wajah pucat dengan bola mata terbalik. Tapi aku lebih tertarik dengan sesuatu yang sedang ia genggam.

“Stephen King?” Tanyaku sambil menaikkan alis melirik jahil kotak DVD yang kemudian ia simpan di meja.

 “Iya, ini film The Shining (1980), salah satu karya Stephen King paling berkesan semasa saya kecil, yang juga diangkat dari novel King berjudul sama. Film ini mengisahkan seorang bapak yang bekerja di hotel sarat hantu, dan dirasuki mereka sampai-sampai ia memburu istri dan anaknya untuk dibunuh.”



 “Sejauh apa Stephen King memengaruhi tulisanmu?”

“Kira-kira pas SMA atau awal kuliah, saya menemukan novel lain dari Stephen King berjudul Pet Sematary. Lagi-lagi tokoh utamanya seorang bapak, yang kali ini berusaha menghidupkan almarhum putranya. Dari situ saya mulai membaca novel-novel King lainnya.

Photo from here
Menurut pengamatan saya pribadi, karya-karya Stephen King, terutama beberapa tahun belakangan, lebih bersifat speculative fiction daripada horor murni. Kata Wikipedia, cakupan spec fic meliputi berbagai genre dari fantasi hingga dystopia. King kerap memadukan horor dengan unsur lain seperti fiksi ilmiah, drama, bahkan komentar atas kondisi sosial. Ia juga selalu menyertakan budaya pop yang sedang ngetren di latar waktu novelnya. Bagi saya, faktor ini memudahkan pembaca merasa dekat dengan tokoh, sebab budaya pop sudah jadi bagian besar dari kehidupan sehari-hari. Itulah alasan saya, misalnya, menyinggung Super Junior di novel saya.

Photo from here.
Pengaruh kedua untuk penulisan novel horor saya adalah komik dan film horor Jepang. Pada awal 1990-an di Indonesia banyak diterbitkan komik horor shoujo (bersegmentasi pembaca anak perempuan). Di awal 2000-an ada film Ring yang ikonis dengan tokoh Sadako-nya, juga Ju-On (The Grudge). Satu lagi film favorit saya dari masa itu adalah Honogurai Mizu no Sokokara, yang judul adaptasi Hollywood-nya Dark Water. Dari ketiga film ini saya belajar cara membangun suasana mencekam yang efektif, meski penggambaran dalam novel tentu berbeda dibanding dalam media audio-visual.”

“Jangan-jangan itu yang bikin kamu menulis Aku Tahu Kamu Hantu untuk Gagas Media?”



“Iya, kan seru, menulis salah satu genre kesukaan saya bagi penerbit yang sudah dikenal luas pembaca Indonesia. Maka mulailah saya menggarap novel horor pertama saya, Aku Tahu Kamu Hantu. Harapan saya untuk buku ini agak muluk sebetulnya, yaitu menyumbangkan novel horor dengan premis, judul, dan tampilan yang tidak terlalu horror-like pada dunia perbukuan Indonesia. Semoga bisa terwujud.”

“Punya pengalaman horor yang tak terlupakan?”

“Waktu SMA, saya dan teman-teman baru selesai latihan drama, terus turun ke lantai bawah. Dari ruang kecil tempat kami tadi ganti baju, ada suara memanggil-manggil nama tokoh yang saya perankan. Pasti bukan salah satu teman, sebab saya turun tangga paling belakang, dan lantai dua sudah kosong.” 

“Adegan horor favorit bikin menjerit?”

“Di Ju-On, ada adegan tokohnya sedang keramas. Dari belakang, tangan Kayako tahu-tahu ikut mengeramasi. Adegan yang 'cocok' diingat kalau kita sedang mandi. Satu lagi dari film Jelangkung. Marcella Zalianty sedang nonton bioskop, dan di kursi sebelahnya muncul hantu yang memerhatikan dia. Yang menonton film itu di bioskop dijamin langsung parno.”

“Rela bagi-bagi kiat menulis horor?”

“Buatlah tokoh jatuh ke situasi menyeramkan di tempat yang tak terduga atau yang dia anggap aman, seperti rumah sendiri atau perpustakaan. Kalau tak ada manusia lain di sekitarnya, menurut saya akan makin seram. Ketakutan tokoh juga tak perlu digambarkan berlebihan, misalnya berteriak "Hiii!" "Waaah!" "Aduuh, apa itu?" apalagi sering-sering. Malah jadinya berisik. Cukup dia gemetaran atau badannya kaku.”

“Pertanyaan terakhir. Tepatnya permintaan terakhir,” Aku agak ragu mengutarakan maksud, tapi... ah, tanggung,”Boleh lihat sebelah wajahmu? Kenapa dari tadi tertutupi buku?”



“Biar orang menebak-nebak, apakah di balik buku ini, rongga mata atau pipi saya bolong atau tidak.” 

....................

Malam terakhiri hening. Terkoyak embusan angin bising. Seperti ada yang sibuk meniup tengkuk. Atau memang ada; kita tidak pernah tahu.
Karena hanya Eve Shi yang tahu kamu hantu.

 *** jreng jreng ***

Tertarik ngobrol horor dengan Eve Shi? Gentayangi dia via twitter.

2 comments:

  1. Akkk... baca GagasDebut Virtual yang ini, walaupun siang, di bagian pertanyaan terakhir bikin berimajinasi yang iya-iya x)
    *merinding sendiri* ._.
    Yang diwawancarai penulis buku horror, format gagasdebut-nya dibuat tambah horror sama Kak Vabyo xD
    *semoga malam ini bisa tidur nyenyak tanpa mimpi pipi bolong :p

    ReplyDelete
  2. Ahahahha ini kece, interview yang beda. Kereeeeeeeeeen

    ReplyDelete

Bebas komentar apa saja, asal damai. Terima kasih banyak :*